Kamis, 01 Maret 2012

Berharap rezeki Di Hari Imlek

MALAM kian hangat. Kelap-kelip lampion melantunkan Cecahaya bak kunang-kunang di kota lama. Kampung Pondok Padang, sebagian besar dihuni komunitas Tionghoa itu, seperti bersolek.

Wewarna merah dominan. Berpendar-pendar kilauannya. Bau hio pun menyeruak hidung. Langit tak kelam. Ada bebintang bercahaya tipis. Remajaremaja tampak sumbringah. Dari atas motor, mereka saling menyapa.


Di pusat aktivitas kawasan bisnis ini, suasana kemeriahan kian kental terasa di Tempat Ibadah Tridharma/Kelenteng (TITD) Kampung Pondok, Minggu (22/1) malam. Tempat ibadah itu semakin dipadati oleh warga Tionghoa yang ingin sembayang.

Selain itu, terlihat juga non-Tionghoa menikmati kemeriahan Imlek tersebut. Tak jauh dari kawasan tempat ibadah itu, tampak jejeran pengemis yang berharap memeroleh rezeki dari angpau yang dibagikan setelah komunitas Tionghoa
itu bersembahyang.

Pemandangan ini sudah menjadi hal yang lumrah. Setiap perayaan Imlek, jumlah pengemis tidak berkurang, malah kian banyak. Meraka berharap secercah harap, dari para warga Thionghoa yang datang.

Sudah rahasia umum, apabila ada perayaan-perayaan agama yang dilakukan oleh warga Thionghoa, biasanya mereka membagi- bagikan angpau, membagi rezeki kepada para pengemis, serta bermurah hati kepada pedagang.

Malam yang penuh berkah,begitulah para Pecinan memaknai malam Imlek itu. Tetapi, tanpa mereka sadari pegantian tahun itu juga merupakan hari yang sangat
penting bagi Ujang, seorang pengemis.

Tapi Ujang tidak sendiri. Ia hadir malam itu untuk mendapatkan angpau bersama puluhan
pengemis lain. Menurut pengakuannya, ketidakmampunnya untuk melihat, membuat Ujang harus melakoni aktivitas meminta-minta agar ia bisa hidup bersama keluarganya. Kendati ia harus menekan rasa malunya demi bertahan hidup. Sebelum jadi pengemis, ia sempat bekerja serabutan. Kini, mengemis telah menjadi pilihan hidupnya.

Pada hari-hari biasa, ia mengemis di Pasar Raya Padang, dan di beberapa jalan yang ada di Kota Padang. Biasanya ia didampingi kawannya sebagai penuntun jalan. “Kadang rasa malu memang datang mendera, tetapi apa mau dikata, kita juga butuh hidup. Jadi, saya harus menepis jauh-jauh rasa itu, jika ingin tetap bertahan dan memperoleh rezeki,” ungkapnya.

Ninik, salah seorang penegemis, datang dengan putrinya yang masih kecil. Sambil menyusuai anaknya, ia duduk di Gerbang Kelenteng tanpa beralaskan apapun. Bagianya, keramain semacam ini momen penting mendapatkan rezeki. Padahal, ia sendiri mengakui aktivitasnya sehari-hari tidak sebagai pengemis, biasanya ia berjulan kecil-kecilan di Pasar Raya Padang. Keramaian di Kelenteng dan angpau telah negundangnnya untuk datang.

Tidak seperti halnya Ujang dan Ninik, yang mengharapkan rezeki dari belas kasihan orang lain. Uan lebih senang menghidupi keluarganya dengan keringat, buah dari ushanya. Keramaian di Kelenteng pada malam itu, memang dimanfaatkannya, tetapi tidak dengan cara meminta-minta. Pagi-pagi benar ia sudah berangkat dari kediamannya di Gunung Pangilun Padang, untuk menangkap ratusan burung-burung.

Burung-burung itu ia tangkap di sawah kawasan Balimbing, dengan menggunakan jaring khusus, yang ia buat sendiri. Menurutnya, semua itu dilakukan demi menghidupkan anak istri, dinginnya udara pagi tak ia hiraukan.

“Alhamdulillah, sebelum matahari terbenam saya sudah dapatkan empat ratus burung gereja. Semuanya saya bawa ke Kelenteng ini,” katanya. “Saya juga tidak tahu persis apa makna yang tersirat dari kebiasan orang-orang Thionghoa itu, mereka sengaja membeli burung-burung yang kami tangkap, untuk mereka lepaskan kembali. Sepertinya, mereka memiliki kepuasan tersendiri setelah melepas burung-burung yang telah mereka beli itu,” tambah Uan.

Biasanya, Uan menjual satu ekor burung dengan harga seribu rupiah. Tetapi harga tersebut tidak baku. Terkadang, untuk satu sangkar yang berisi 50 ekor burung dihargai lebih daripada yang semestinya. Tetapi juga tidak jarang dihargai hanya dengan harga sekadarnya. “Tergantung niat mereka saja, yang penting burung-burung yang saya jual habis,” jelasnya.

Uan hanya berjulan burung pada pada jadwal sembayang, atau ada acara-acara khusus seperti Imlek. “Waktu sembayang tidak menentu, kadang dua hingga tiga kali dalam sebulan. Salain itu, saya juga mengerjakan pekerjaan yang lain, yang penting halal dan tidak meminta-minta,” katanya.

Malampun semakin larut, warga Thionghoa dan masyarakat pun satu persatu telah meninggalkan tempat peribadatan itu. Ujang, Ninik, dan yang lain pun berkemas, bersiap siap untuk pulang. (Laporan Rahmat Hidayat).

Tidak ada komentar: