Kamis, 01 Maret 2012

TUNGKEK NAN MAMBAOK RABAH

Kecewa, sedih dan mungkin juga jengkel. Itulah perasaan yang muncul ketika masyarakat membaca atau pun mendengar kabar tentang kurenah buruk Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kayu Tanam, Padang Pariaman berinisial Az (40). Ia terjaring razia polisi di Jalan Adinegoro, depan Mapolsek Koto Tangah, Padang pada Selasa (21/2). Az mengendarai mobil sedan Toyota Starlet.

Kepala KUA Kayu Tanam ini terjaring razia, bukan karena tak ada Surat Izin Mengemudi (SIM) atau pun Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK). Mobil sedan tersebut juga bukan mobil curian. Yang jadi masalah, Az di mobil itu setengah telanjang bersama dengan Ls (17). Di mobil tersebut polisi juga menemukan beberapa keping VCD/DCD porno. Parahnya lagi, bersama mereka juga ditemukan sejumlah kondom. Ls ternyata adalah siswi salah satu Madrasah Awaliyah Negeri (MAN).

Peristiwa terjaringnya Az dan Ls diberitakan semua surat kabar harian terbitan Padang. Berita tentang kurenah Az dan Ls bikin heboh. Ini menjadi tamparan bagi Ismail Usman, Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Sumbar. Jajaran Kemenag merasa sangat malu atas perilaku Az. Tak mau berlama-lama, Kemenag Sumbar pun langsung menjatuhkan sanksi pecat kepada Az. Pelaku juga telah di tahan di Polres Pariaman. Tungkek nan mambao rabah. Itulah yang terjadi pada Az. Selaku Kepala KUA, Az seharusnya memberikan contoh tauladan kepada masyarakat. Padahal pekerjaan rutin Az setiap hari adalah memberi nasehat kepada orang yang akan menikah. Seperti biasanya, seorang Kepala KUA memberi nasehat tentang keutamaan berumah tangga. Kepala KUA biasanya juga menerangkan bahwa zinah adalah haram, karena itu jika telah memenuhi persyaratan, Kepala KUA mengimbau agar jangan menunda-nunda pernikahan.

Sebagaimana dikutip dari salah satu website Kantor Kemenag di daerah, tugas-tugas Kepala KUA selain pencatatan nikah dan bimbingan perkawinan, KUA juga diberi tugas dalam bidang pembinaan keluarga sakinah, produk halal, penyuluhan agama, hisab rukyat, dan bimbingan jemaah haji. Selain itu Kepala KUA secara ex officio adalah merupakan Panitia Pencatat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) serta sebagai Mufti.

Dari uraian tugas-tugas Kepala KUA seperti di atas, dapat diketahui bahwa peran mereka sangat besar dan sangat strategis di tengah-tengah masyarakat. Mereka semestinya memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Tapi yang dilakukan oleh Az justru sebaliknya. Ia nekad mengangkangi tupoksi yang harusnya ia jalankan. Az dapat dikenakan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sanksi sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 81 UU Nomor 23 Tahun 2002 sangat jelas dan tegas. “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Hukum harus ditegakkan. Pelaku Az mesti diganjar dengan hukuman yang setimpal. Hukuman pecat saja tidak cukup. Ia juga mesti diadili secara pidana, karena melanggar UU 23 Tahun 2002.

Inilah pentingnya menyamakan antara perkataan dengan perbuatan. Az, mantan Kepala KUA Kayu Tanam secara teori dan konsep tentu sangat memahami perihal halal-haram, persoalan perintah dan larangan Allah terhadap hambaNya. Bahkan itu menjadi hal rutin bagi Az menyampaikan kepada calon mempelai yang akan menikah. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata Az, alfa. Ucapan Az ternyata tak sejalan dengan perbutannya.

Melihat dari umur, bisa jadi Az tengah puber kedua. Puber kedua adalah kondisi dimana terdapatnya beberapa kesamaan perilaku seperti yang dialami anak-anak yang memasuki masa puber, seperti lebih memperhatikan penampilan, lebih memperhatikan lawan jenis, dan sebagainya. Puber kedua dialami pria maupun wanita yang memasuki usia 40 tahun ke atas.

Sementara itu, Ls yang berumur 17 tahun juga berada pada usia puber pertama. Di usia itu dorongan dan keinginan alamiah yang datang dari dalam diri seorang wanita untuk mendapatkan perhatian dari lawan jenisnya juga sangat tinggi. Secara alamiah inilah menyebabkan mereka lupa akan segalanya. Az lupa bahwa dia seorang Kepala KUA, seorang kepala rumah tangga dan lupa bahwa perbuatannya itu dilarang oleh Allah. Ls kurang lebih juga demikian. Terkait dengan Ls, fungsi pengawasan orang tua sangatlah penting. Perkembangan jiwa anak mesti dipahami dan jadi perhatian bagi orang tuanya. Ketika ada tanda-tanda atau perkembangan baru pada anak, terutama tentang perkembangan jiwanya mesti jadi perhatian. Apalagi di usia puberitas. Kasus Az dan Ls ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua, agar tidak lengah dan lebih memberikan perhatian dan pengawasan terhadap anak. ***

Kita Dekat Dengan Bencana

Selasa, 28 Februari 2012 02:23

Sumatera Barat sangat rawan dengan bencana alam. Bencana di daerah ini datang silih berganti. Belum selesai lagi rehabilitasi kerusakan akibat musibah gempa, 30 September 2009 oleh pemerintah daerah dan pusat, bencana kembali lagi terjadi di berbagai daerah di Ranah Minang ini. Pada Rabu (22/2), terjadi galodo atau banjir bandang di Kecamatan Simpati, Kabupaten Pasaman. Tiga nagari di kecamatan itu disapu air bah bercampur batu, tanah dan pohon-pohon berukuran besar. Adalah Nagari Simpang, Nagari Alahan Mati, dan Nagari Kaciak yang diporak-porandakan oleh galodo tersebut.

Puluhan rumah rusak berat dan hanyut. Jalan pada sejumlah titik rusak berat dan putus. Lahan pertanian juga rusak berat. Masih untung tidak ada korban jiwa. Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) memperkirakan kerugian mencapai Rp115 miliar. Hingga kemarin, upaya penanganan dampak bencana di lokasi bencana masih berlangsung. Jalur transportasi belum lagi pulih. Belum tuntas penanganan bencana banjir bandang di Kecamatan Simpati, Kabupaten Pasaman, bencana serupa terjadi pula di kawasan Singkuang Jorong Tangah XX Nagari Padang Laweh Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar. Banjir bandang atau yang disebut juga dengan galodo di daerah ini terjadi pada Minggu (26/2) pulu 22.30 WIB. Peristiwa galodo berlangsung cepat, sekitar satu jam.

Banjir bandang yang menghantam Padang Laweh ini merusak dua rumah warga dan dua mushalla. Puluhan hektare sawah tertimbun tanah dan bebatuan. Jalan Singkuang juga ikut amblas, sehingga akses jalan menuju Singkuang terputus. Tidak ada korban jiwa dan luka-luka, tapi bencana itu membuat suplai air bersih jadi terputus, sebab pipa sambungan air bersih ikut patah diterjang banjir bandang. Sebanyak 11 kepala keluarga (KK) terpaksa mengungsi ke rumah sanak keluarganya, karena takut akan terjadi banjir bandang susulan. Hingga Senin (27/2), beberapa petugas Tim SAR dikerahkan untuk mengevakuasi warga dan barang-barang berharga milik warga. Namun satu unit alat berat yang dikerahkan belum bisa berbuat banyak, karena akses jalan yang rumit.

Terjadinya musibah banjir bandang di Pasaman dan di Tanah Datar semakin meyakinkan kepada kita, bahwa negeri kita ini memang rawan dengan bencana alam. Bencana alam bisa terjadi kapan saja dan di daerah mana saja. Sejak terjadinya musibah gempa 30 September 2009 di Padang dan wilayah pesisir pantai Sumatera Barat, orang-orang takut tinggal di kawasan pantai. Banyak orang yang selama ini berumah di kawasan pantai di Kota Padang, pindah ke daerah yang lebih tinggi seperti di daerah seberang jalan By Pass. Dampak dari itu, harga tanah dan bangunan di daerah by pass dan sekitarnya melonjak drastis. Sedangkan harga tanah dan bangunan di daerah pantai turun juah. Bahkan di dekat daerah-daerah pantai Kota Padang banyak rumah yang kosong, karena ditinggal pemilik. Ada juga sebagian orang yang pindah ke kota lain atau pulang ke kampung ke daerah asalnya, menyusul keluarnya kajian ilmuan yang memprediksi akan terjadi gempa dan tsunami dahsyat di Kota Padang.

Namun ketika orang-orang pindah dari kawasan pantai yang rawan gempa dan tsunami ke daerah ketinggian, ternyata juga tidak sepenuhnya aman. Musibah banjir bandang di Pasaman dan Tanah Datar sebagai buktinya. Selama ini orang sama sekali tidak pernah memperkirakan di wilayah tiga nagari Kecamatan Simpati Pasaman rawan banjir, tanah longsor atau banjir bandang. Namun nyatanya, peristiwa yang tak terduga tersebut justru datang memporak-porandakan wilayah tiga nagari tersebut. Kini pun Gunung Marapi sudah mulai batuk-batuk, mengeluarkan asap. Aktifitas Marapi fluktuatif. Kadang meningkat dan kadang turun lagi. Tak ada yang bisa memastikan apakah Marapi akan aman-aman saja atau justru sebaliknya. Masyarakat Sumbar mesti menyadari bahwa sesung­guhnya ancaman bencana alam ada di sekitar kita. Kapan saja bisa terjadi. Kita tak ubahnya seperti berteman dengan bencana.

Kita tak mungkin melawan bencana alam. Yang mungkin kita lakukan adalah upaya mitigasi bencana. Artinya kita bisa berupaya mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Menyebut mitigasi bencana sangatlah gampang. Tapi merealisasikannya tidak mudah. Perlu kesungguh-sungguhan dari semua pihak. Jika dievaluasi secara jujur, proyek-proyek mitigasi bencana gempa dan tsunami di Padang dan daerah pesisir lainnya di Sumbar masih jauh dari harapan. ***

Munculnya Ateis, Ada yang Salah dalam Pendidikan Agama

PENGANTAR — Terungkapnya keyakinan ateis Aleksander Aan,salah seorang calon pegawai
negeri sipil (CPNS) Kabupaten Dharmasraya, beberapa waktu lalu, membuat ranah Minang
buncah. Keyakinan ateis itu, ternyata dioposisikannya dengan menafikan dan menjelekkan agama Islam. Malah membuat grup di jejaring sosial dengan nama Ateis
Minang.

Ajaran yang dinilai sangat menyesatkan ini, dikhawatirkan mengispirasi generasi muda lainnya di Ranah Minang. “Kita mencemaskan keyakinan ateis ini menyebar luas dan merasuki generasi muda,” kata Buya Masoed Abidin, ulama Sumatera Barat. Wartawan Harian Umum Haluan Rahmat Hidayat mewawancarainya, Minggu (22/1). Berikut petikannya.

Apa yang dimaksud
dengan ateis?
Ajaran ateis sebagai satu paham sudah lama ada. Sudah ada sejak zaman dulu. Paham ini tidaklah aneh, jika dilihat dari sisi pendekatan keilmuan sejarah agama. Berdasarkan ajaran samawy, keyakinan atheis telah tertolak. Para nabi diutus untuk melakukan risalah dakwah. Hal tersebut semata-mata menghapus pemahaman ateis. Penghapusan paham ini sudah dilakukan sejak Nabi Adam. Kemudian dilanjutkan Nabi Nuh. Ia berdakwah kepada umat dan anak kandungnya yang tidak mengakui adanya Tuhan. Hingga yang terakhir ke Nabi Muhammad SAW, yang berdakwah kaum kafir Qurais. Dalam kasus ini ateis Aleksander Aan, sebenarnya yang terhina tidak hanya umat Islam, tetapi semua agama. Sebab, semua agama di dunia ini mengenal adanya Tuhan. Dan semua agama itu mengajak kepada bertuhan. Terserah bagaimana langkah dan cara yang dipakai agama itu dalam menyatakan pengabdian kepada Tuhan. Bagi agama Islam jelas Tuhan itu Yang Maha Esa. Jangankan meniadakan tuhan, menyatakan Tuhan itu berserikat dengan makhluk saja, tidak diterima dalam ajaran Islam.

Bagaimana posisi Ateis
dalam Islam?
Pada dasarnya setiap manusia, dilahirkan membawa fitrah beragama. Tidak ada satu pun manusia yang tidak membawanya. Fitrah dapat dikatakan sebagai potensi yang dibawa manusia sejak lahir. Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 30, yang artinya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Maksudnya adalah, manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. Ini artinya, membawa kepada agama yang lurus yaitu Islam. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

Hal ini juga dibuktikan dengan persaksian manusia kepada Sang Pencipta, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-A’raaf ayat 172, yang artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).

Selain itu, pernahkah Anda mendengar, bahwa orang yang paling sombong sedunia yaitu Fir’aun, kesombongannya yang amat sangat, membuat ia lupa. Ia tidak lagi mau menerima nasihat Rasul Musa, agar beriman kepada Allah. Hingga ia menyebut dirinya adalah Tuhan yang patut disembah. Fir’aun dengan semena-mena menjajah Bani Israil dengan sangat kejam. Ketika ia hendak mengejar Musa, dan Bani Israil, seketika itu pula Allah tenggelamkan Fir’aun dan bala tentara ke dalam laut merah. Saat sakratul maut, akhirnya Fir’aun mengakaui bahwa Tuhan Musa itulah adalah benar. Tobat Fir’aun tidak diterima, karena ia sudah sakratul maut. Ini artinya apa, bahwa pada dasarnya manusia itu diciptakan dengan membawah fitrah bertuhan. Kesombongan dan kecongkakalah yang membuat manusia itu tidak mengakui adanya Tuhan.

Lalu bagaimana dengan kasus
ateisme Aleksander Aan?
Kasus Alexander Aan terjadi di Indonesia, yang sudah jelas Negara bertuhan. Lihat dasar Pancasila Orang tidak mengakui adanya Tuhan sama dengan tidak beragama, tidak dibenarkan ada di Indonesia. Menurut pengakuannya, Alesander sudah tidak bertuhan sejak SD. Berdasarkan hal ini, ada yang salah dalam sistem pendidikan dan pengajaran agama kita. Kesalahan dan kesilapan yang wajib diperbaiki. Buya menganggap peristiwa ini mesti dijadikan langkah “mengatai diri”. Maknanya lebih jauh adalah melakukan koreksi, dimana yang salah, dan segera mengambil tindakan tindakan perbaikan. Hal tersebut harus dilakukan segera agar penyakit tidak bertuhan ini tidak terjadi secara dini. Kemudian pengawasan dan pembinaan PNS selama ini harus lebih diperhatikan. Saya tidak habis pikir dengan kejadian ini. Padahal keyakinan beragama termasuk bagian tak dapat dilepas dari pembinaan aparatur negara.

Lebih mengejutkan lagi, karena ini terjadi dalam etnis Minangkabau. Ini dapat menjadi indikator dari ketidakkemampuan pengendalian, dan pembinaan anak kemenakan oleh ninik mamak. Dapat pula dijadikan indikator bahwa sudah tidak ada bekas pengajaran yang dari alim ulama suluah bendang dalam nagari.

Untuk ke depan, apa yang
harus dilakukan?
Jika merujuk Rasulullah SAW, maka orang yang seperti sudah halal darahnya. Namun, di Negara yang menghormati hukum, tentu kita merujuk kepada hukum negara
kita. Bagi masyarakat Minangkabau, mengakui bahwa ada adat bersendi syarak, dan syarak bersendi kepada Kitabullah. Maka dalam hukum adat sudah adan ketegasan. Seperti, pribadi yang tidak mengakui adanya Tuhan, akan dibuang sepanjang adat. Walau banyak juga orang Minang yang tidak setuju dengan kaedah adat Minangkabau ini. Ada anggapan bahwa ketegasan adat Minangkabau seperti itu bertentangan dengan HAM. Sesungguhnya, peristiwa Alesander Aan, semestinya tidak dilihat dari Alesander saja. Mestinya, peristiwa ini disikapi sebagai adanya satu kerangka dasar terinci dan terselubung, yang sedang dipersiapkan terencana. Manakala ini dibiarkan akan berdampak lebih luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya Indonesia dengan filosofi Pancasila.

Mungkin pada awalnya Aleksander membuatnya sebagai guyon, tetapi bisa berkembang menjadi sebuah gerakan antiagama dan “anti-Tuhan. Lambat laun akan
berkembang menjadi kekuatan perlawanan yang lebih berbahaya dari gerakan sempalan. Jadi, perlu pencegahan agar perilaku seperti ini tidak terulang, dan memberikan penyadaran kepada Aleksander Aan. Sacara pribadi buya berpesan kepada Aan, sebelum nyawa dikerongkongan, secepatnyalah bertubat. Jangan sampai kita seperti Fir’aun. Mengakui Tuhan ketika ajal menjelang, hingga tobat kita tidak diterima.

Berharap rezeki Di Hari Imlek

MALAM kian hangat. Kelap-kelip lampion melantunkan Cecahaya bak kunang-kunang di kota lama. Kampung Pondok Padang, sebagian besar dihuni komunitas Tionghoa itu, seperti bersolek.

Wewarna merah dominan. Berpendar-pendar kilauannya. Bau hio pun menyeruak hidung. Langit tak kelam. Ada bebintang bercahaya tipis. Remajaremaja tampak sumbringah. Dari atas motor, mereka saling menyapa.


Di pusat aktivitas kawasan bisnis ini, suasana kemeriahan kian kental terasa di Tempat Ibadah Tridharma/Kelenteng (TITD) Kampung Pondok, Minggu (22/1) malam. Tempat ibadah itu semakin dipadati oleh warga Tionghoa yang ingin sembayang.

Selain itu, terlihat juga non-Tionghoa menikmati kemeriahan Imlek tersebut. Tak jauh dari kawasan tempat ibadah itu, tampak jejeran pengemis yang berharap memeroleh rezeki dari angpau yang dibagikan setelah komunitas Tionghoa
itu bersembahyang.

Pemandangan ini sudah menjadi hal yang lumrah. Setiap perayaan Imlek, jumlah pengemis tidak berkurang, malah kian banyak. Meraka berharap secercah harap, dari para warga Thionghoa yang datang.

Sudah rahasia umum, apabila ada perayaan-perayaan agama yang dilakukan oleh warga Thionghoa, biasanya mereka membagi- bagikan angpau, membagi rezeki kepada para pengemis, serta bermurah hati kepada pedagang.

Malam yang penuh berkah,begitulah para Pecinan memaknai malam Imlek itu. Tetapi, tanpa mereka sadari pegantian tahun itu juga merupakan hari yang sangat
penting bagi Ujang, seorang pengemis.

Tapi Ujang tidak sendiri. Ia hadir malam itu untuk mendapatkan angpau bersama puluhan
pengemis lain. Menurut pengakuannya, ketidakmampunnya untuk melihat, membuat Ujang harus melakoni aktivitas meminta-minta agar ia bisa hidup bersama keluarganya. Kendati ia harus menekan rasa malunya demi bertahan hidup. Sebelum jadi pengemis, ia sempat bekerja serabutan. Kini, mengemis telah menjadi pilihan hidupnya.

Pada hari-hari biasa, ia mengemis di Pasar Raya Padang, dan di beberapa jalan yang ada di Kota Padang. Biasanya ia didampingi kawannya sebagai penuntun jalan. “Kadang rasa malu memang datang mendera, tetapi apa mau dikata, kita juga butuh hidup. Jadi, saya harus menepis jauh-jauh rasa itu, jika ingin tetap bertahan dan memperoleh rezeki,” ungkapnya.

Ninik, salah seorang penegemis, datang dengan putrinya yang masih kecil. Sambil menyusuai anaknya, ia duduk di Gerbang Kelenteng tanpa beralaskan apapun. Bagianya, keramain semacam ini momen penting mendapatkan rezeki. Padahal, ia sendiri mengakui aktivitasnya sehari-hari tidak sebagai pengemis, biasanya ia berjulan kecil-kecilan di Pasar Raya Padang. Keramaian di Kelenteng dan angpau telah negundangnnya untuk datang.

Tidak seperti halnya Ujang dan Ninik, yang mengharapkan rezeki dari belas kasihan orang lain. Uan lebih senang menghidupi keluarganya dengan keringat, buah dari ushanya. Keramaian di Kelenteng pada malam itu, memang dimanfaatkannya, tetapi tidak dengan cara meminta-minta. Pagi-pagi benar ia sudah berangkat dari kediamannya di Gunung Pangilun Padang, untuk menangkap ratusan burung-burung.

Burung-burung itu ia tangkap di sawah kawasan Balimbing, dengan menggunakan jaring khusus, yang ia buat sendiri. Menurutnya, semua itu dilakukan demi menghidupkan anak istri, dinginnya udara pagi tak ia hiraukan.

“Alhamdulillah, sebelum matahari terbenam saya sudah dapatkan empat ratus burung gereja. Semuanya saya bawa ke Kelenteng ini,” katanya. “Saya juga tidak tahu persis apa makna yang tersirat dari kebiasan orang-orang Thionghoa itu, mereka sengaja membeli burung-burung yang kami tangkap, untuk mereka lepaskan kembali. Sepertinya, mereka memiliki kepuasan tersendiri setelah melepas burung-burung yang telah mereka beli itu,” tambah Uan.

Biasanya, Uan menjual satu ekor burung dengan harga seribu rupiah. Tetapi harga tersebut tidak baku. Terkadang, untuk satu sangkar yang berisi 50 ekor burung dihargai lebih daripada yang semestinya. Tetapi juga tidak jarang dihargai hanya dengan harga sekadarnya. “Tergantung niat mereka saja, yang penting burung-burung yang saya jual habis,” jelasnya.

Uan hanya berjulan burung pada pada jadwal sembayang, atau ada acara-acara khusus seperti Imlek. “Waktu sembayang tidak menentu, kadang dua hingga tiga kali dalam sebulan. Salain itu, saya juga mengerjakan pekerjaan yang lain, yang penting halal dan tidak meminta-minta,” katanya.

Malampun semakin larut, warga Thionghoa dan masyarakat pun satu persatu telah meninggalkan tempat peribadatan itu. Ujang, Ninik, dan yang lain pun berkemas, bersiap siap untuk pulang. (Laporan Rahmat Hidayat).

Minggu, 05 Februari 2012

MOMENTUM UNAND BERBENAH

Jumat, 03 Februari 2012 03:34

Tiga hari terakhir, suasana kampus di Universitas Andalas cukup tegang. Ratusan mahasiswa terancam dikeluarkan dari lingkungan kampus karena selama empat semester Indeks Prestasi Kamulatif (IPK) di bawah 2.00.

Menurut versi Rektorat mahasiswa yang akan dikeluarkan jumlahnya mencapai 156 mahasiswa, sedangkan versi mahasiswa berjumlah 198 mahasiswa.

Keputusan Rektor yang tertuang di dalam Surat Edaran No 655/UN16/PP/2012 perihal DO (drop out) mendapat “perlawanan” dari mahasiswa dengan melakukan aksi unjuk rasa. Sementara, pihak rektorat sendiri, bergeming. Tetap kepada keputusan untuk menjalankan surat edaran itu. Rektorat telah menetapkan batas akhir pengurusan surat pindah mahasiswa yang terancam DO itu pada Jumat (3/2) ini.

Kita bersetuju aturan ditegakkan demi ketertiban dan kelancaran jalannya proses pendidikan di lingkungan kampus Unand. Dan kita tak bisa pula menutup mata, setiap aturan yang diterapkan, tentu ada konsekuensinya. Menjalankan aturan DO itu jelas memiliki dampak besar terhadap “hak” memperoleh pendidikan setiap anak bangsa di negeri ini, kendati mereka diarahkan untuk masuk perguruan tinggi swasta atau negeri lainnya.

Menurut mahasiswa, anjloknya IPK mereka sebagian besar karena problem sistem online dan portal yang diterapkan. Secara teknis, mahasiswa sering dirugikan. Selain itu, peran dan fungsi pembimbing akademik (PA), tentu tak bisa diabaikan begitu saja.

Banyak keluhan mahasiswa, PA mereka tak berperan seperti seorang dosen yang membimbing mahasiswanya. Tetapi perannya lebih banyak hanya “menandatangani” lembaran-lembaran yang diserahkan mahasiswa tanpa memberikan advis dan konseling.

Di sini kita perlu sangat-sangat menyoroti peran PA ini. Ratusan mahasiswa angkatan 2009 yang terancam DO itu, sesungguhnya, kami berpendapat, bukan semata kesalahan dari mahasiswa semata. Banyak faktor penyebabnya. Salah satu mungkin kesibukan para dosen yang mobilitas mengajarnya sangat tinggi. Mengajar di regular dan juga non regular. Sehingga menjadi PA sesungguhnya tak berjalan. Dan mahasiswa yang jadi korban. Maka IPK sebenarnya tak bisa dijadikan patokan untuk melemparkan mahasiswa ke luar kampus.

Kita bersepakat dengan pendapat salah seorang pengajar di Unand, faktor ICT yang dikeluhkan mahasiswa, dosen Pembimbing Akademik (PA) yang hanya tandatangan tanpa memperhatikan perkembangan mahasiswanya, dan sebagainya, merupakan faktor pendukung yang tidak bisa diabaikan.

Selain itu pula, komunikasi antara rektorat, dekan, dan jurusan, serta mahasiswa tampaknya tak berjalan benar. Surat Edaran yang mengeluarkan mahasiswa dari kampus, sesungguhnya bisa didialogkan dan dikomunikasikan secara baik dan terbuka. Tapi, ini tak berjalan. Uji publiknya belum terpenuhi.

Dari berita yang dilansir Haluan, surat edaran pertama yang dikeluarkan Unand terkait proses pindah angkatan 2009 dikeluarkan pada 19 Januari 2012 yang menyebutkan batas akhir mengurus surat pindah pada 26 Januari 2012. Namun diundur sampai 31 Januari 2012 karena desakan mahasiswa, dan Jumat (3/2) ini.

Tolak angsur seperti itu, telah menggambarkan kepada kita bahwa semangat dari surat itu bukanlah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pihak rektorat diharapkan mampu menerapkannya secara arif dan cerdas. Jikapun dipaksakan, masalahnya akan panjang. Tak ada masalah yang tak terselesaikan.

Masalah ancaman DO ini memang telah meluas. DPRD Sumatera Barat telah mencoba menengahi, kendati gagal menurunkan petinggi Unand dari menara gading di Kampus Limau Manih itu. Gagal digelar pertemuan yang dijadwalkan pada Rabu (2/1) lalu.

DPRD berpendapat masih banyak cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini, misalnya dengan adanya semester pendek.

Dari penelusuran Haluan, sebagian mahasiswa Unand mengeluhkan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, kenyamanan dalam menjalankan pendidikan tidak didapatkan mahasiswa. Pihak Unand harus merespons ini sebagai masukan penting dari mahasiswa.

“Pihak rektorat sebaiknya membereskan dulu sistem portal sampai pada cara pembimbingan akedemik dengan baik. Sebab, ini sistem berantai. Persoalan akademik mahasiswa tidak berhak diputuskan oleh pihak rektorat saja, sebelum diketahui pembimbing akademik (PA) mereka.” Begitu mahasiswa mengkritisi kampusnya.

KEADILAN DIBALIK DO RATUSAN MAHASISWA UNAND

Ratusan mahasiswa Universitas Andalas (Unand) menuntut keadilan. Mereka melakukan unjuk rasa di Gedung Rektorat Unand, Senin (30/1) dan Selasa (31/1) di Kantor DPRD Sumbar di Jalan Khatib Sulaiman, Padang. Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Musyawarah Unand (Formus Unand) tersebut meminta agar keputusan rektor men-drop out mereka ditinjau ulang, bahkan dibatalkan.

Menurut Rektor Unand Dr Werry Darta Taifur, SE. MA, jumlah mahasiswa Unand yang terancam DO sebanyak 156 orang. Keputusan rektorat itu tertuang di dalam Surat Edaran No. 655/UN16/PP/2012. Keputusan DO dikeluarkan karena selama empat semester nilai indeks prestasi komulatif (IPK) mahasiswa yang bersangkutan selalu di bawah 2.00.

Sedangkan versi Formus Unand, jumlah total mahasiswa yang terancam DO sebanyak 198 orang. Sebagian besar mahasiswa Fakultas Teknik. Koordinator aksi, Aulia Rizal mengatakan aksi tersebut merupakan bentuk penolakan dan kekecewaan atas kebijakan yang menghakimi mahasiswa. Menurut Aulia, rektorat Unand meminta mahasiswa yang nilai IPK selalu di bawah 2.00 selama empat semester untuk pindah kuliah ke kampus lain. Jika tidak, maka akan di-DO.

Formus Unand menilai pihak kampus ikut perperan menyebabkan nilai IPK mahasiswa rendah. Ada lima kelalaian pihak kampus yang sangat merugikan mahasiswa. Pertama sistem Portal dan ICT Unand yang masih kacau, sehingga banyak nilai mahasiswa yang ganda dan tidak dibagi dengan baik. Kedua, sarana dan prasarana dalam perkuliahan tatap muka dan pratikum sangat minim. Keterbatasan sarana transportasi ke kampus juga dikeluhkan.

Ketiga, doses pembimbing akademik (PA) tidak begitu peduli dengan perkembangan akademik mahasiswa. Keempat, sistem remedial belum diterapkan di seluruh fakultas kecuali di FMIPA, dan kelima jadwal kuliah yang sering dempet. Akumulasi dari semua itu menyebabkan capaian hasil kuliah sebagian mahasiswa tidak maksimal.

Rektor Unand Werry Darta Taifur mengatakan sebelum merealisasikan kebijakan DO, pihak universitas sudah memberitahukan kepada mahasiswa semester lalu. Werry mengklaim keputusan pihak kampus sudah bijaksana. Menurutnya, pihak kampus tidak langsung men-DO mahasiswa, hanya menyuruh kepada mahasiswa yang memiliki IPK di bawah 2.00 agar mengurus surat pindah dan mencari universitas lain untuk melanjutkan studi.

Langkah itu diambil untuk menyeleksi mahasiswa yang benar-benar serius dalam menuntut ilmu dan menyeimbangi input dan output mahasiswa di kampus Unand. Sebab, input dengan output mahasiswa Unand tidak sebanding. Yang masuk sangat banyak, sedangkan yang keluar sedikit. Setiap tahun Unand harus mengurangi jumlah penerimaan mahasiswa karena mahasiswa senior masih banyak yang belum menuntaskan perkuliahan.

Kebijakan ini diambil bukan tanpa pertimbangan. Jika dalam empat semester saja IPK mahasiswa itu masih di bawah 2.00, pasti akan sulit untuk mengejar perkuliahan dan akhirnya mereka terpaksa menempuh perkuliahan lebih dari empat tahun. Werry menyebut bahwa pihak kampus justru memberikan solusi bagi mahasiswa terkait agar bisa menyelesaikan studi, meskipun di kampus lain, bukan kampus Unand.

Untuk mencegah terjadinya DO lagi, Werry mengimbau seluruh orang tua mahasiswa untuk terus memonitor anaknya dan jangan hanya menyerahkan segala urusan akademik dan pengembangan diri anak kepada pihak kampus.

Tidak puas dengan tanggapan Rektor Unand, para mahasiswa pun melanjutkan aksi unjuk rasa ke DPRD Sumbar, Selasa (31/1). Mereka meminta agar DPRD Sumbar menyampaikan aspirasi mereka kepada Rektor Unand untuk membatalkan keputusan DO yang dijatuhkan terhadap mereka. Anggota Komisi IV DPRD Sumbar Sukriadi Syukur berjanji akan mengundang Rektor Unand untuk berdialog dengan anggota dewan, Kamis 2 Februari 2012 untuk membahas persoalan ini.

Mengingat kampus adalah ruang ilmiah, tempat tumbuh suburnya proses diskusi, demokratisasi dan perubahan, maka seyogyaanya aspirasi mahasiswa tersebut ditampung, dibahas, dipelajari dan dipertimbangkan sebelum diputuskan dengan sebaik-baiknya. Sistem dan aturan di kampus mesti ditegakkan. Di sisi lain, proses penjalanan sistem dan aturan itu juga perlu dievaluasi.

Ketika sistem dan aturan kampus belum berjalan sebagaimana mestinya, sebagaimana lima poin yang dikeluhkan mahasiswa, maka kurang adil kiranya jika vonis DO dijatuhkan kepada mahasiswa yang IPK-nya tidak memenuhi ketentuan yang telah diterapkan kampus Unand. Namun, sepanjang sistem dan aturan telah dijalankan pihak kampus, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) juga telah dijalankan sesuai aturan, maka mahasiswa juga mesti legowo menerima keputusan tersebut.

AMUK, NEGERI YANG TAK LAGI RAMAH

Sabtu, 04 Februari 2012 03:57

Prihatin, itulah kata yang paling pas jadi pembuka tajuk rencana ini tatkala kita simak kejadian amuk massa di kantor Bupati Agam Kamis lalu. Bersamaan dengan itu, di Simpang Ampek Pasaman Barat peristiwa serupa nyaris terjadi, kalau saja tidak cepat-cepat ditangani oleh aparat keamanan.

Sebelum itu di Sawahlunto terjadi amuk serupa yang membuat hancur dan terbakarnya Markas Kepolisian RI di Polresta Sawahlunto. Di Maligi, kerusuhan dipicu juga oleh akibat lahan pertanian yang tak beres-beres juga.

Amuk, adalah frasa dalam bahasa Indonesia. Secara etimologis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan dalam salah satu lema (entry) sebagai “kerusuhan yg melibatkan banyak orang (spt perang saudara)”

Tetapi agaknya itu adalah kata yang sangat erat dengan budaya nusantara. Atau boleh jadi sangat ‘indonesia’. Karena dalam kamus bahasa Inggris pun, kata amuk diinggriskan menjadi amok. Jadi dapat ditarik kesimpulan, kalau bukan karena melihat perilaku itu di sepanjang wilayah Nusantara, tentu para penyusun kamus bahasa Inggris tidak akan memasukkan kata amok ke dalam salah satu lema dalam kamus mereka.

Okelah, perkara amuk adalah berkaitan dengan budaya nusantara kita taruh sebagai sebuah catatan saja. Akan tetapi kenapa amuk mesti terjadi bagai tak berkesudahan di negeri ini. Sepanjang Aceh hingga Papua, peristiwa amuk massa sungguh membuat kita miris. Ada kantor gubernur yang dibakar, kampus yang diperakporandakan, markas polisi yang dibumihanguskan, gereja yang dirusak, rumah warga yang dihancurkan. Bahkan tak sedikit yang menimbulkan korban nyawa. Di Maluku hampir tiap sebentar terjadi amuk. Di Makassar, tak boleh dipicu oleh sebab apapun maka serta merta amuk akan terjadi.

Maraknya amuk massa yang disertai dengan kekerasan merupakan akibat dari pemerintah daerah dan Kepolisian yang tidak mampu untuk melihat akar permasalahan dari amuk massa tersebut.

Seperti disebut Koordinator Institut Perdamaian, Ihsan Malik, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (3/2), mengatakan, selama ini baik pemda maupun aparat Kepolisian lebih mengedepankan penyelesaian secara fisik, bukan penyelesaian dengan pendekatan sosial dan kultur yang memiliki akar sejarah.

Ibarat penyakit, baik pemda maupun kepolisian salah dalam mendiagnosa, sehingga berakibat salah pukla dalam penyelesaian masalah. Di sini akan menyebar luas karena terjangkit infeksi eskalasi, salah menganalisis aktor, tidak mampu mengkoordinator aktor, dan stakeholder tidak mempu berkoordinasi.

Maka solusi yang terbaik dari konflik adalah dengan pendekatan sosial atau mengintensifkan melalui dialog bersama. Dengan demikian pula maka fungsi-fungsi yang melekat pada kepolisian kita lebih banyak fungsi Binmas (pembinaan masyarakat) yang dilaksanakan oleh Biro Bina Mitra di setiap Polda. Kalau ini dilakukan maka, polisi tidak lagi seperti pemadam kebakaran yang terlalu reaktif dalam menangani kerumunan massa. Jika Polri seperti pemadam kebakaran maka masalah tidak akan pernah selesai.

Dalam kasus yang banyak terjadi di Sumatera Barat, selain salah paham antarkampung, maka masalah perebutan lahan antara masyarakat dan investor sering memicu konflik yang berakhir dengan amuk massa.

Seperti yang terjadi di Agam, amuk massa itu dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintah Kabupaten Agam dalam menyikapi tuntutan masyarakat seputar lahan sawit yang diklaim milik PT Minang Agro. Warga Tanjung Manggopoh juga menuntut pengembalian hak mereka seluas 3.400 hektare lahan yang dicaplok sebuah perusahaan perkebunan, 900 hektare di antaranya milik suku Piliang dan 2.500 hektare milik warga suku Tanjung.

Kemarin sebenarnya sangat dituntut kecepatan bertindak dari Pemda dan aparat keamanan. Saat dialog sudah sudah disepakati bahwa Bupati bersama perwakilan pengunjukrasa akan menemui manajemen PT Muatiara Agam.

Tapi rupanya rundingan itu terlalu lama, sementara warga yang masih bertahan di kantor Bupati Lubuk Basung menjadi tidak sabar. Aparat keamanan juga tidak mengantisipasi dampak keterlambatan itu terlebih dulu. Akibatnya tak terelakkan, warga mengamuk. Ini adalah salah satu masalah lahan yang juga banyak dialami warga dan investor di Kabupaten lain.

Semestinya masalah-masalah itu tidak dipendam begitu saja oleh pemerintah setempat, melainkan harus terus dibereskan supaya tidak lagi menjadi picu amuk massa berikutnya. Agar negeri ini tetap layak disebut negeri yang ramah tamah, remah repah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bumi sanang, jaguang maupiah, padi manjadi. ***

"INI PEMBUNUHAN BERENCANA"

TRAGEDI ADIK-KAKAK TEWAS DI POLSEK SIJUNJUNG

Sabtu, 04 Februari 2012 04:11

TRAGEDI ADIK-KAKAK TEWAS DI POLSEK SIJUNJUNG

PADANG, HALUAN—Keluarga korban tragedi tewasnya dua orang adik-kakak di sel Polsek Sijunjung mendesak kepolisian menghukum semua anggota kepolisian yang terlibat atas pembunuhan (alm) adik-kakak, Budri dan Faisal.

Menurut Ides, abang se­bapak beda ibu, hukuman terhadap mantan Kapolsek, Kanit Reskrim, dan Kanit Intel hanya rangkaian dari proses pembunuhan.

“Yang terjadi pada dua orang adik saya jelas pem­bunuhannya terencana,” kata Ides di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Jumat (3/2).

Karena itu, sebutnya, semua yang terlibat mesti dihukum. Keluarga, punya bukti. Misalnya, jenazah Faisal sudah mengeluarkan aroma busuk terlebih dahulu dibanding Budri. Artinya, jarak kematian mereka tidak bersamaan, seperti yang dikatakan polisi.

Pertemuan yang dihadiri juga mamak korban seperti Bataruddin, Syarial Bandaro Hitam, Pandji Alam, juga ibu kandung Budri dan Faisal itu untuk menyampaikan tun­tutan keluarga atas kematian yang mereka anggap dibunuh tersebut.

Belum Ada Saksi

Pandji Alam, salah seorang mamak korban, mengaku kecewa atas proses pengusutan kasus yang menyebabkan kemenakannya meninggal dunia. Menurutnya, saat Mabes Polri melakukan olah TKP, keluarga tidak dipanggil untuk dimintai keterangan. Hal yang sama juga terjadi saat Komisi III DPR me­lakukan investigasi.

“Kita telah menunggu hingga pukul 20.00 WIB di rumah, tapi tak ada panggilan. Mabes Polri dan Komisi III hanya meminta keterangan dari Kapolsek,” ujar Pandji Alam. Ini disesalkan pihak keluarga yang mengatakan informasi yang didapatkan tim tersebut tak berimbang.

Koordinator Divisi Pem­baharuan Hukum dan Pe­radilan LBH Padang Roni Saputra sebelumnya me­nga­takan, bila ingin mengungkap kasus tersebut secara terang benderang, saksi-saksi lain harus dipanggil.

“Ini untuk mengungkap keseluruhan persoalan,” se­but­nya di Padang, Rabu (2/2) lalu.

Menurut Roni, dalam pe­nye­lesaian kasus Sijunjung, hingga sekarang, baik Mabes Polri maupun Komisi III DPR be­lum satu pun memanggil sa­ksi-saksi dari masyarakat sipil.

Ditinjau dari hukum yang dibebankan kepada tersangka, juga tergolong ringan, yakni Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Menurut Koor­dinator Tim Advokasi LBH Padang Deddi Alparesi, pasal tersebut hanya memberikan ancaman pidana berkisar 2 tahun 8 bulan sampai 7 tahun.

“Bila mengacu kepada investigasi kita, pasal yang seharusnya dikenakan 340,” sebutnya. Pasal tersebut tentang pembunuhan be­rencana dengan ancama pi­dana mati atau seumur hidup atau paling lama 20 tahun.

Lebih jauh disebutkan, hukuman yang telah di­jatuh­kan tersebut belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.

Kejanggalan

Dari perjalanan kasus ini, Roni Saputra menilai banyak kejanggalannya. Misalnya, korban Faisal, 14 tahun, ia diamankan Darisman, warga Nagari Pamatang Panjang pada 21 Desember 2011, dan di­serahkan langsung pada hari yang sama kepada Polsek Sijunjung. Sesuai dengan KUHP, jelas Roni, maka saat itu juga pihak kepolisian wajib memberikan surat penang­kapan kepada orang tua Faisal.

“Tapi itu tak dilakukan polisi,” kata Roni.

Sama halnya dengan Budri M. Zen, ia ditangkap oleh Polisi Kepolisian Sektor Si­junjung pada 26 Desember 2011 di Kiliranjao. Ber­dasar­kan informasi dari Kopral, bahwa Budri adalah Gepeng. Penangkapan Budri dilakukan setelah sebelumnya ia diminta datang oleh Kopral ke Terminal Kiliran Jao. Budri ditangkap bukan karena tertangkap tangan melakukan pencurian sepeda motor, tidak ada Barang Bukti pada pe­nang­kapan Budri. Budri masih berusia 17 tahun, artinya kepadanya juga berlaku ke­tentuan UU Perlindungan Anak. Tetapi pihak kepolisian tetap melakukan pengabaian terhadap pemenuhan hak-hak Budri sebagai anak.

“Terhadap proses penang­kapan dan penahanan ter­hadap Faisal dan Budri, jelas pihak Kepolisian sudah me­langgar ketentuan dalam KUHAP dan UU Per­lin­dun­g­an Anak,” katanya.

Setelah dikonformasi ke Derisman panggilan Malin, ia tidak pernah menandatangani laporan Polisi No. lp/17/xii/2011/Sumbar/res sjj/sek sjj. Ia hanya menandatangani BAP dengan jumlah 7 (tujuh) rangkap. Selain itu, setelah diperlihatkan tanda tangan yang ada dalam laporan polisi itu, ia menyatakan bahwa itu bukan tanda tangannya. “De­ngan demikian jelaslah bahwa Polisi diduga sudah me­la­kukan pemalsuan tanda ta­ngan Derisman terkait dengan kasus Faisal. Hal ini jelas merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHAP,” papar Roni. (h/adk/yat)