Kamis, 23 Desember 2010

Hubungan umat islam dan pers

Media pers dan Umat Islam
SUATU perkembangan penting dalam kehidupan media telah terjadi sejak tiga dekade terakhir ini. Berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, media massa telah menjadi kekuatan yang relatif terpisah dari pengelompokan-pengelompokan sosial berdasarkan ideologi atau aliran. Meskipun kaitan-kaitan semacam itu masih ada, pengaruhnya sudah tidak lagi intensif dan mendalam. Koran atau majalah tidak menjadi corong kekuatan politik tertentu.
Hal itu bisa diterangkan dari kenyataan bahwa media telah diisolasi (oleh pemerintah) dari afiliasi-afiliasi aliran yang mengakar sebelumnya, untuk kemudian dikebawahkan kepada suatu aspirasi yang lebih rasional, yakni pembangunan ekonomi. Berbarengan dengan kian merosotnya kekuatan aliran dan organisasi politik yang berbasis aliran, maka tak pelak media yang menjadi corongnya pun kehilangan basis dukungan politik dan ekonominya. Di sinilah kekuatan modal maju ke depan disangga oleh "birokrasi" surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang bersumber dari patronase negara. Akibatnya, tak bisa tidak, munculnya suatu jalinan yang saling menyokong antara pemilik modal dan birokrasi. Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa media pelan-pelan hadir sebagai kekuatan yang relatif independen terhadap kekuatan-kekuatan sosial-politik yang ada.
Demikianlah kita sudah mulai sulit menemukan suatu ekuivalensi atau padanan bagi koran-koran semacam Duta Masyarakat yang menjadi corong Partai NU, Harian Rakyat yang menjadi corong PKI, Bintang Timur yang menjadi corong PNI-kiri. Koran-koran itu menjadi perpanjangan dari partai-partai yang diwakilinya, dan oleh karena itu, juga meneruskan pertikaian-pertikaian yang terjadi di antara partai-partai itu. Polemik yang terjadi antarkoran tersebut sebetulnya adalah polemik yang mencerminkan perbedaan-perbedaan kepentingan partai-partai yang mendukungnya. Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa partai dan media merupakan dua sisi dari keping yang sama.
Ketika kekuatan partai pudar, maka "koran berbasis partai", atau lebih tepatnya media berbasis aliran, juga memudar. Sebagai gantinya, muncullah koran atau majalah semacam Kompas, Suara Pembaruan, Merdeka, Pelita, TEMPO, dan semacamnya. Meski media tersebut tidak bisa dikatakan sepenuhnya terhindar dari pengaruh-pengaruh "aliran" atau kekuatan sosial-keagamaan tertentu, variabel nonaliran jelas lebih menentukan dalam iformasi dan pertumbuhannya.
Akibat langsung yang bisa kita lihat adalah hilangnya sarana yang bisa digunakan oleh kekuatan-kekuatan sosial-keagamaan untuk menyuarakan kepentingan mereka lewat media. Mereka kehilangan suatu alat untuk mempengaruhi pembentukan pendapat khalayak (opillion making). Sebab, media cetak dengan sirkulasi besar hampir kesemuanya tidak lagi bersandal pada kekuatan partai atau aliran. Sebaliknya, modal dan proteksi birokrasilah yang menjadi tumpuan media-media itu.
Kecemburuan Media Alternatit
Akan halnya aspirasi kekelompokan hanya bisa muncul secara "partikelir" di media-media alternatif yang terbit secara terbatas untuk memenuhi kepentingan kelompok bersangkut. Dan, karena sirkulasi yang amat terbatas, dua hal sangat menonjol sebagai ciri media-media tersebut. Di satu pihak, sirkulasi yang amat terbatas itu menyebabkan gagalnya media-media itu tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang independen dengan iklan sebagai tumpuan utamanya. Di samping itu, media-media tersebut juga tidak dapat mempengaruhi pendapat umum secara seimbang dibandingkan dengan kawan-kawannya dari media "resmi". Timpangnya kekuatan media alternatif dan media resmi itulah yang menyebabkan adanya semacam kecemburuan dari pihak media-media altematif itu terhadap media-media resmi tersebut.
Sejauh bisa diamati, hubungan yang timpang itu bisa "meledak" menjadi semacam insiden yang tidak mustahil menyebabkan dilikuidasinya media resmi. Kasus Monitor adalah contoh yang konkret. Monitor adalah sebuah tabloid yang termasuk dalam keluarga bisnis kelompok Kompas-Gramedia. Kelompok tersebut, oleh umat Islam dicurigai sebagai mempunyai hubungan yang dekat dengan kepentingan-kepentingan orang Katolik.
Sebagai suatu "kartel" yang tumbuh dengan cepat dan menaungi harian Kompas yang mempunyai peredaran luas, tak bisa dielakkan jika umat Islam kemudian menaruh rasa curiga, yang sumbernya boleh jadi adalah kecemburuan terhadap Monitor sebagai "ujung tombak" bagi konspirasi Katolik merusak "moral" umat Islam. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, Monitor menampilkan suatu liputan-liputan yang berani mengenai kehidupan pribadi para artis disertai foto-foto yang di mata umat Islam menyinggung aurat.
Sebenarya, Manitor bukanlah kasus satu satunya dalam kontek hubungan antara umat lslam dan media massa. Dalam jangka panjang, bisa diproyeksikan bahwa hubungan-sarat-kecemburuan itu akan terus mengancam keberadaan media yang sedang bergulat untuk memperjuangkan terciptanya iklim pers yang bebas. Beberapa koran besar mengalami "insiden" itu. Republika, beberapa waktu lalu, harus menerima dua kali protes dari umat Islam. Yang pertama, protes karena harian itu memuat tulisan tentang Ahmad Wahib yang bersama tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, dan Dawam Rahardjo, dianggap peletak dasar "liberalisme Islam" di Indonesia. Protes itu sudah tentu bukan semata-mata diarahkan kepada tulisan itu sendiri, tetapi terhadap kecenderungan umum koran-koran resmi yang lebih mendukung suatu corak penafsiran Islam yang lebih liberal dan inklusif.
Islam yang Lebih Liberal.
Kedua, protes karena koran itu dianggap kurang lagi "mewakili" kepentingan umat Islam yang sejak awal dikleim oleh pendirinya sebagai salah satu raison d'etre berdirinya koran tersebut. Atau lebih tepatnya, Republika dianggap kurang mewakili salah satu corak penafsiran Islam yang lebih "fundamentalistis". Harian Kompas baru-baru ini juga sedang mengalami soal dengan umat Islam karena memuat suatu tajuk yang oleh lapisan tertentu dalam umat dianggap menyinggung "perasaan" keagamaan mereka.
Kenyataan-kenyataan tersebut menambahkan suatu dimensi yang lain lagi terhadap soal yang sudah diungkap di bagian muka. Jika di muka dinyatakan bahwa aspirasi -- atau tepatnya salah satu corak aspirasi -- umat kurang terwakili dalam media resmi, maka salah satu manifestasi dari soal itu terlihat dengan gamblang dalam kecenderungan koran-koran resmi terhadap penafsiran Islam yang lebih liberal dan inklusif. Harian Kompas jelas amat sulit dikatakan kurang memperhatikan suatu proporsi yang wajar dalam meliput soal-soal keislaman. Apalagi harian Republika yang konon menandai "munculnya" kembali suatu variasi haru atas kecenderungan lama, yakni "koran berbasis aliran". Yang benar, Kompas dan koran-koran lain lebih memihak kepada salah satu corak penafsiran yang begitu beragam dalam Islam. Dan ini tentu sesuatu yang wajar.
Persoalan tersebut kemudian menyadarkan kita akan suatu kenyataan bahwa hubungan antara media dan umat Islam kian rumit dan mengandung ketegangan-ketegangan yang mengancam. Jika terhadap itu semua ditambahkan suatu dimensi lain, pastilah soalnya akan lebih kompleks. Dimensi lain itu ialah adanya kenyataan bahwa pemerintah tampaknya lebih melindungi suatu "ortodoksi Islam" yang terwakili dalam lembaga Majelis Ulama Indonesia (Majelis Ulama Indonesia), demi terciptanya stabilitas politik. Dengan memberikan proteksi politis terhadap ortodoksi itu, kontrol atas kemajemukan Islam bisa lebih dijamin, dan dengan demikian rasa aman dari ancaman Islam juga bisa diperoleh.
Pemihakan pemerintah atas ortodoksi itu terlihat dengan gamblang dalam, misalnya, pencabutan SIUPP Monitor. Kenyataan tersebut kian menambah betapa rentannya hubungan antara media dan umat Islam. Di satu pihak, media resmi yang lebih bertumpu kepada kekuatan modal cenderung mengikuti aspirasi pasar yang tentu tidak sepenuhnya sesuai dengan "harga diri" umat, di pihak lain umat tidak mempunyai cukup alat untuk mengimbangi kekuatan media resmi dalam menciptakan pendapat umum.