Minggu, 16 Januari 2011

Pemuda, Islam dan Globalisi

Hegemoni & Pembajakan Kesadaran
Globalisasi telah mencabut “waktu” dari “ruang”. Peristiwa yang terjadi di pojok bumi selatan bisa ditonton oleh masyarakat yang hidup di pojok bumi utara dalam waktu bersamaan. Ini menandakan bahwa “ruang” telah mengecil, tidak ada lagi “jarak” yang membatasi setiap “ruang”. Globalisasi, menyatukan “ruang” yang berserakan di bumi ini menjadi satu wilayah yang sempit, bahkan tak lagi “berdinding”.

Televisi (TV) adalah salah satu instrumen globalisasi. Semua peristiwa dapat kita saksikan melalui TV. TV merobek dan menembus batas “ruang” dan mencabut waktu yang menghubungkan setiap ruang. Setiap hari, perhatian kita tersedot ke layar TV, berharap dapat menyaksikan berita dan informasi tentang kejadian-kejadian di sekitar kita.

Dalam ukuran tertentu, globalisasi seperti yang digambarkan di atas mengandung hal positif. Masyarakat hidup dalam suasana yang penuh dengan keterbukaan terhadap informasi. Tidak ada masyarakat yang terisolasi dari suasana global. Kemajuan peradaban sebuah masyarakat, akan menjadi bahan refleksi dan contoh bagi pembangunan peradaban di masyarakat lain.

Suasana keterbukaan ini tidak bisa dielakkan, karena instrumen globalisasi menjadi instrumen yang sangat membantu dan mendukung aktifitas kita. Karena itu, globalisasi hadir dalam kehidupan kita tanpa perlawanan. Menolak globalisasi bisa menjadi penolakan terhadap hidup itu sendiri.

Namun sesungguhnya, globalisasi itu merupakan ruang kontestasi (perlombaan) budaya. Sebab mengecilnya dunia menjadi satu “ruang sempit” menimbulkan benturan budaya masing-masing masyarakat. TV yang bisa disebut sebagai salah satu instrumen penting globalisasi itu, mempunyai peran penting dalam kontestasi tersebut.
Setiap saat, teman setia kita adalah TV. Bahkan jadwal aktifitas kita, sedikit banyak dipengaruhi oleh menu yang ditawarkan TV. Pagi, sebelum berangkat ke kantor kita punya jadwal menonton berita politik, ekonomi, dan tidak ketinggalan berita seputar selebritis. Sore sampai malam, ada sinetron-sinetron menarik yang siap menemani kita. Bahkan, malam-malam tertentu, kita sudah membuat agenda tidak keluar rumah untuk menyaksikan sinetron dan acara pilihan yang spesial.

Sedikit banyak, TV telah membentuk kesadaran berpikir kita tentang nilai-nilai baik, jahat, indah, buruk, benar, salah, dst. Karena itu TV menjadi “lubang hitam kebudayaan”. Sebab nilai-nilai yang dipromosikan dalam layar kaca tersebut menghegemoni pemirsanya. Ada sinetron yang sering mempertontonkan keluarga bahagia dengan rumah mewah, dengan mobil sedan mahal. Ditambah lagi adanya ajang perlombaan menjadi orang sukses dengan menjadi penyayi. Semua itu menghegemoni kesadaran pemirsa tentang kemewahan sebagai kebaikan, kesuksesan hidup dengan menjadi orang tenar (baca: penyanyi), dst.

Di sinilah titik rawan globalisasi. Globalisasi menciptakan ruang yang dapat “membajak” kesadaran masyarakat untuk menjadi masyarakat yang lain. Globalisasi bisa menjadi Amerikanisasi—juga Arabisasi—, dimana dominasi informasi dan film-film Amerika menguasai menu yang disuguhkan TV dan instrumen globalisasi lainnya. Maka nilai-nilai kebaikan dalam persepsi masyarakat Indonesia misalnya, adalah nilai-nilai kebaikan yang dikonstruksi oleh masyarakat Amerika.

Ini bukan berarti kita harus menolak globalisasi lantaran globalisasi adalah Amerikanisasi. Sebab, nilai-nilai yang ditawarkan Amerika sendiri tidak semuanya buruk dan berbahaya. Demokrasi contohnya, adalah nilai-nilai luhur yang kita (baca: umat Islam dan bangsa Indonesia) terima dari Amerika sebagai kebaikan dalam bernegara dan bemasyarakat. Dalam penjelasan ini, sejatinya kita melihat secara kritis tentang nilai-nilai buruk yang membajak kesadaran, tanpa memandang apakah itu berasal dari Barat atau dari Islam.

Artikulasi Pemuda Islam
Dalam konteks situasi hegemonik seperti inilah pemuda Islam diharapkan dapat menumbuhkan keberagamaannya yang lebih membumi. Sejauh pengamatan saya, sebagian besar pemuda Islam, dan umat Islam umumnya, masih memperlakukan Islam sebagai lembaga yang mengatur tata cara pengabdian kepada Tuhan, sehingga nilai ibadah yang tetinggi dalam kacamata mereka adalah manakala melakukan ritualitas (baca: ibadah mahdoh) secara sempurna dengan aturan-aturan baku yang telah ditetapkan. Dengan begitu, Islam tidak dijadikan sebagai kekuatan pendorong untuk melakukan kritik sosial, justru terkesan dijauhkan dari problem sosial (baca: pembajakan kesadaran, konsumerisme, hedonisme, selebrisme, kedangkalan, dst).

Perjuangan pemuda Islam harus menegaskan bahwa Islam yang berorientasi ritual, telah mengebiri ideologi emansipatorisnya. Sejarah menceritakan bahwa sejak awal, perjuangan Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah melakukan emansipasi harkat manusia. Islam di awal pertumbuhannya, mendekonstruksi (baca: mengkritisi dan menolak) perbudakan yang saat itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Dengan kata lain, nabi Muhammad mengajak manusia untuk kritis terhadap tatanan masyarakat yang telah ada dalam masyarakat. Dan itu bukan pekerjaan mudah, sebab beliau berada dalam masyarakat yang telah terhegemoni, yang kesadarannya telah dibajak oleh agama para leluhur.

Pemuda Islam sejatinya mulai membaca kondisi objektif sosial yang diakibatkan globalisasi. Sederhananya dapat dikatakan bahwa kesalehan (baca: mengerjakan ibadah mahdoh) harus disertai dengan pembacaan konteks sosial sekarang. Kemudian, bersikap terhadapnya. Dengan begitu, keberagamaan yang bermakna ditemukan.
Penggunaan hermeneutika sosial dan hermeneutika teks (baca: hermeneutika ibadah mahdoh) adalah pilarnya. Pengagungan kesalehan individual, yang membanggakan praktek ritual individu semata, tidaklah cukup untuk disebut sebagai pengikut rosulullah saw. Pengabaian terhadap problem dan dampak globalisasi yang menerpa umat manusia, adalah sikap yang tidak islami dan mengkhianati perjuangan suci rosul saw.

Media pers dan Umat Islam

SUATU perkembangan penting dalam kehidupan media telah terjadi sejak tiga dekade terakhir ini. Berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, media massa telah menjadi kekuatan yang relatif terpisah dari pengelompokan-pengelompokan sosial berdasarkan ideologi atau aliran. Meskipun kaitan-kaitan semacam itu masih ada, pengaruhnya sudah tidak lagi intensif dan mendalam. Koran atau majalah tidak menjadi corong kekuatan politik tertentu.
Hal itu bisa diterangkan dari kenyataan bahwa media telah diisolasi (oleh pemerintah) dari afiliasi-afiliasi aliran yang mengakar sebelumnya, untuk kemudian dikebawahkan kepada suatu aspirasi yang lebih rasional, yakni pembangunan ekonomi. Berbarengan dengan kian merosotnya kekuatan aliran dan organisasi politik yang berbasis aliran, maka tak pelak media yang menjadi corongnya pun kehilangan basis dukungan politik dan ekonominya. Di sinilah kekuatan modal maju ke depan disangga oleh "birokrasi" surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang bersumber dari patronase negara. Akibatnya, tak bisa tidak, munculnya suatu jalinan yang saling menyokong antara pemilik modal dan birokrasi. Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa media pelan-pelan hadir sebagai kekuatan yang relatif independen terhadap kekuatan-kekuatan sosial-politik yang ada.
Demikianlah kita sudah mulai sulit menemukan suatu ekuivalensi atau padanan bagi koran-koran semacam Duta Masyarakat yang menjadi corong Partai NU, Harian Rakyat yang menjadi corong PKI, Bintang Timur yang menjadi corong PNI-kiri. Koran-koran itu menjadi perpanjangan dari partai-partai yang diwakilinya, dan oleh karena itu, juga meneruskan pertikaian-pertikaian yang terjadi di antara partai-partai itu. Polemik yang terjadi antarkoran tersebut sebetulnya adalah polemik yang mencerminkan perbedaan-perbedaan kepentingan partai-partai yang mendukungnya. Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa partai dan media merupakan dua sisi dari keping yang sama.
Ketika kekuatan partai pudar, maka "koran berbasis partai", atau lebih tepatnya media berbasis aliran, juga memudar. Sebagai gantinya, muncullah koran atau majalah semacam Kompas, Suara Pembaruan, Merdeka, Pelita, TEMPO, dan semacamnya. Meski media tersebut tidak bisa dikatakan sepenuhnya terhindar dari pengaruh-pengaruh "aliran" atau kekuatan sosial-keagamaan tertentu, variabel nonaliran jelas lebih menentukan dalam iformasi dan pertumbuhannya.
Akibat langsung yang bisa kita lihat adalah hilangnya sarana yang bisa digunakan oleh kekuatan-kekuatan sosial-keagamaan untuk menyuarakan kepentingan mereka lewat media. Mereka kehilangan suatu alat untuk mempengaruhi pembentukan pendapat khalayak (opillion making). Sebab, media cetak dengan sirkulasi besar hampir kesemuanya tidak lagi bersandal pada kekuatan partai atau aliran. Sebaliknya, modal dan proteksi birokrasilah yang menjadi tumpuan media-media itu.
Kecemburuan Media Alternatit
Akan halnya aspirasi kekelompokan hanya bisa muncul secara "partikelir" di media-media alternatif yang terbit secara terbatas untuk memenuhi kepentingan kelompok bersangkut. Dan, karena sirkulasi yang amat terbatas, dua hal sangat menonjol sebagai ciri media-media tersebut. Di satu pihak, sirkulasi yang amat terbatas itu menyebabkan gagalnya media-media itu tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang independen dengan iklan sebagai tumpuan utamanya. Di samping itu, media-media tersebut juga tidak dapat mempengaruhi pendapat umum secara seimbang dibandingkan dengan kawan-kawannya dari media "resmi". Timpangnya kekuatan media alternatif dan media resmi itulah yang menyebabkan adanya semacam kecemburuan dari pihak media-media altematif itu terhadap media-media resmi tersebut.
Sejauh bisa diamati, hubungan yang timpang itu bisa "meledak" menjadi semacam insiden yang tidak mustahil menyebabkan dilikuidasinya media resmi. Kasus Monitor adalah contoh yang konkret. Monitor adalah sebuah tabloid yang termasuk dalam keluarga bisnis kelompok Kompas-Gramedia. Kelompok tersebut, oleh umat Islam dicurigai sebagai mempunyai hubungan yang dekat dengan kepentingan-kepentingan orang Katolik.
Sebagai suatu "kartel" yang tumbuh dengan cepat dan menaungi harian Kompas yang mempunyai peredaran luas, tak bisa dielakkan jika umat Islam kemudian menaruh rasa curiga, yang sumbernya boleh jadi adalah kecemburuan terhadap Monitor sebagai "ujung tombak" bagi konspirasi Katolik merusak "moral" umat Islam. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, Monitor menampilkan suatu liputan-liputan yang berani mengenai kehidupan pribadi para artis disertai foto-foto yang di mata umat Islam menyinggung aurat.
Sebenarya, Manitor bukanlah kasus satu satunya dalam kontek hubungan antara umat lslam dan media massa. Dalam jangka panjang, bisa diproyeksikan bahwa hubungan-sarat-kecemburuan itu akan terus mengancam keberadaan media yang sedang bergulat untuk memperjuangkan terciptanya iklim pers yang bebas. Beberapa koran besar mengalami "insiden" itu. Republika, beberapa waktu lalu, harus menerima dua kali protes dari umat Islam. Yang pertama, protes karena harian itu memuat tulisan tentang Ahmad Wahib yang bersama tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, dan Dawam Rahardjo, dianggap peletak dasar "liberalisme Islam" di Indonesia. Protes itu sudah tentu bukan semata-mata diarahkan kepada tulisan itu sendiri, tetapi terhadap kecenderungan umum koran-koran resmi yang lebih mendukung suatu corak penafsiran Islam yang lebih liberal dan inklusif.
Islam yang Lebih Liberal.
Kedua, protes karena koran itu dianggap kurang lagi "mewakili" kepentingan umat Islam yang sejak awal dikleim oleh pendirinya sebagai salah satu raison d'etre berdirinya koran tersebut. Atau lebih tepatnya, Republika dianggap kurang mewakili salah satu corak penafsiran Islam yang lebih "fundamentalistis". Harian Kompas baru-baru ini juga sedang mengalami soal dengan umat Islam karena memuat suatu tajuk yang oleh lapisan tertentu dalam umat dianggap menyinggung "perasaan" keagamaan mereka.
Kenyataan-kenyataan tersebut menambahkan suatu dimensi yang lain lagi terhadap soal yang sudah diungkap di bagian muka. Jika di muka dinyatakan bahwa aspirasi -- atau tepatnya salah satu corak aspirasi -- umat kurang terwakili dalam media resmi, maka salah satu manifestasi dari soal itu terlihat dengan gamblang dalam kecenderungan koran-koran resmi terhadap penafsiran Islam yang lebih liberal dan inklusif. Harian Kompas jelas amat sulit dikatakan kurang memperhatikan suatu proporsi yang wajar dalam meliput soal-soal keislaman. Apalagi harian Republika yang konon menandai "munculnya" kembali suatu variasi haru atas kecenderungan lama, yakni "koran berbasis aliran". Yang benar, Kompas dan koran-koran lain lebih memihak kepada salah satu corak penafsiran yang begitu beragam dalam Islam. Dan ini tentu sesuatu yang wajar.
Persoalan tersebut kemudian menyadarkan kita akan suatu kenyataan bahwa hubungan antara media dan umat Islam kian rumit dan mengandung ketegangan-ketegangan yang mengancam. Jika terhadap itu semua ditambahkan suatu dimensi lain, pastilah soalnya akan lebih kompleks. Dimensi lain itu ialah adanya kenyataan bahwa pemerintah tampaknya lebih melindungi suatu "ortodoksi Islam" yang terwakili dalam lembaga Majelis Ulama Indonesia (Majelis Ulama Indonesia), demi terciptanya stabilitas politik. Dengan memberikan proteksi politis terhadap ortodoksi itu, kontrol atas kemajemukan Islam bisa lebih dijamin, dan dengan demikian rasa aman dari ancaman Islam juga bisa diperoleh.
Pemihakan pemerintah atas ortodoksi itu terlihat dengan gamblang dalam, misalnya, pencabutan SIUPP Monitor. Kenyataan tersebut kian menambah betapa rentannya hubungan antara media dan umat Islam. Di satu pihak, media resmi yang lebih bertumpu kepada kekuatan modal cenderung mengikuti aspirasi pasar yang tentu tidak sepenuhnya sesuai dengan "harga diri" umat, di pihak lain umat tidak mempunyai cukup alat untuk mengimbangi kekuatan media resmi dalam menciptakan pendapat umum.

Di balik kebebasan Pers Eropa

Menulis tentang kebebasan pers Eropa tidak berarti saya mempunyai pengetahuan luas tentang tema ini, saya hanya mencoba memenuhi permintaan bapak Huzain - koordinator Merdeka, untuk menulis tema ini sebagai lanjutan dari tulisan saya yang berjudul: “Islam, masih bermakna damai?” dan mencoba mengambil analisis tentang salah satu insiden besar di jaman ini.
Mungkin saya dan rekan lainnya yang kebetulan tinggal di sini (yang akan segera bergabung dengan Merdeka, masih dirahasiakan) mencoba menjadi koresponsal Merdeka dan memberikan pandangan berbeda bagi media berita di Indonesia- khususnya di Internet, melalui blog pribadi ini.
Pertanyaannya kenapa sebagian surat kabar-surat kabar di benua ini berani mempublikasikan gambar kartun Muhammad yang kontroversial itu setelah tahu reaksi keras umat Islam sedunia?
Sedangkan di Amerika Serikat, kebanyakan media massa memilih untuk tidak mempublikasikan karikatur tersebut. Sebagian mempublikasikan untuk memberi penjelasan pada masyarakat kenapa insiden ini bisa terjadi.
Ada beberapa jawaban yang saya akan coba tampilkan di sini:
1. Ketidaktahuan tentang Islam, adanya larangan menggambar nabi dan Tuhan kita supaya pengidolaan terhadap gambar, patung dan sebagainya oleh umat Islam dihindari.
2. Sikap bersikeras sebagian pers Eropa dalam pernyataan mereka tentang kebebasan pers dan pers yang independen.
3. Situasi politik, situasi dunia yang masih dipengaruhi oleh terrorisme internasional, situasi kekerasan di berbagai negara bermayoritas muslim seperti di Irak, Palestina dan Afghanistan.
4. Tidak adanya antisipasi terhadap reaksi keras umat Islam.
________________________________________________________
Beberapa partai politik di Uni Eropa pernah mengeluarkan pernyataan bahwa akar dari Eropa adalah Kristianisme. Untuk itu tidak mudah bagi Turki masuk ke dalam Uni Eropa dikarenakan beberapa pendapat yang menentang masuknya “Islam” ke badan pemerintahan ini.
Yang menganggap bahwa akar dari Eropa adalah kristianisme mencoba untuk memurnikan Eropa dengan menghalau masuknya pengaruh-pengaruh dari Islam.
Mengapa? mungkin dikarenakan observasi mereka terhadap apa yang terjadi di negara-negara bermayoritas Islam. Seperti di Afghanistan misalnya, di mana para perempuan dilarang keluar rumah tanpa kawalan suami atau laki-laki dari pihak keluarga, pakaian yang wajib dipakai yang menutupi seluruh tubuhnya (burka, cadar), hukuman rajam, dan seterusnya.
Dan lagi, yang terjadi di negara-negara ini adalah pencampuradukkan norma-norma agama dengan budaya setempat yang makin membuat gambaran Islam sebagai agama yang represif.
Hal-hal yang disebutkan di atas, bagi mereka adalah keterbelakangan, perendahan terhadap perempuan; hak asasi manusia - yang sudah jelas tidak dapat dibenarkan keberadaannya.
Eropa sebagai negara-negara yang mengaku telah beradab dan maju, tidak ingin pengaruh-pengaruh walaupun sekecil apapun dari (gambaran salah) Islam masuk ke negaranya terutama jika Turki berhasil bersatu ke dalam UE.
Selain dari rasa eropanisme yang mereka bangga-banggakan, ketidaktahuan mereka tentang Islam, di mana ada larangan keras menggambar Nabi dan Tuhan.
Sedangkan dalam agama Katolik sendiri, kebiasaan menggambar dan membuat patung sendiri sudah berlangsung beradab-abad lamanya. Jadi, kenapa kok kartun (bukan gambar hasil dari kenyataan, hanya imajinasi penggambar) Nabi Muhammad bisa sampai membuat kerusuhan pada umat Islam di seluruh penjuru dunia?
Bagi saya pribadi, gambar kartun itu sendiri tidak penting. Di sini sudah biasa mentertawakan Jesus, politikus, Tuhan, dalam karikatur. Tidak ada yang merasa terhina, karena itu hanya merupakan gambar kartun semata.
Namun tentu yang paling berbahaya dari kartun ini adalah gambar dari sorban nabi tersebut yang berbentuk bom.
Saya tidak tahu jelasnya bagaimana pendapat dari saudara-saudara kita yang berada di Libanon, Syria, Palestina, Indonesia, Iran, Pakistan dan Afghanistan, disebabkan apa kemarahan mereka? penggambaran kartun nabi itu sendiri atau penghubungan nabi dengan terroris? atau keduanya?
Sepanjang keberadaan kedua agama terpenting di dunia ini, Islam dan Kristen, selalu ada sentimen, rasa benci di antara ke dua pemeluk agama tersebut. Ini kenyataan yang ada.
Di dalam debat-debat pun ketika masing-masing pihak sudah mentok yang kristen akan mengambil frase “Muhammad banyak istrinya, istrinya Muhammad anak kecil”, dan yang Islam mengambil frase macam “Tuhanmu dibunuh kok diem aja? ngga bisa menyelamatkan diri?”, dan seterusnya…akhirnya debat pun berakhir dengan dihapusnya anggota-anggota tersebut oleh moderator, tanpa bisa mencapai kebenaran sebagai tujuan utama perdebatan.
Kembali pada tema ini lagi. Saya pikir, orang-orang Eropa yang memeluk agama Kristen (sebagian tidak mempraktekkannya) dan sebagian besar lain atheis, tidak merasa bahwa gambar kartun bisa sampai menyulut kemarahan umat Islam. Mungkin karena kebiasaan mereka yang kadang mentertawakan diri sendiri, ironisme, dan kultur keterbukaan.
Selain bisa saja hari ini menggambar Muhammad, di kesempatan lain mereka bisa menggambar Bhuda, Yesus - untuk lucu-lucuan…
Salah satu kesalahan si kartunis bagi saya pribadi adalah menghubungkan umat Islam (nabi Muhammad) dengan bom dan terrorisme.
Kesalahan pemimpin surat kabar itu sendiri, menerbitkan kartun yang hanya akan memprovokasi dan menghina penganut suatu agama, dan ia “lupa” menggunakan “common sense” (pikiran sehat) dalam pekerjaannya sebagai penjual berita.
Ke dua, reaksi surat kabar-surat kabar lainnya di berbagai negara selain Denmark (Spanyol, Italy, Perancis, Bulgaria,etc.) sebagai konfirmasi dari pemikiran mereka tentang “kebebasan berekspresi, kebebasan pers” tidak pada tempatnya.
Entah ini sebagai pernyataan rasa tidak takut terhadap kemarahan umat Islam, provokasi, rasa antipati terhadap Islam, entahlah…saya sendiri tidak mengerti.
Hanya Inggris yang kali ini membela umat Islam dengan menyatakan bahwa karikatur tersebut telah menghina kita.
Ketiga situasi politik di negara-negara bermayoritas muslim.
Yang terakhir tantangan Iran yang bersikeras dengan program energi nuklir di negaranya yang telah ditentang oleh, AS dan sekutunya. Juga pernyataan presiden Iran tentang Holocaust Yahudi yang katanya hanya sebuah mitos, pernyataannya bahwa Iran siap untuk menghancurkan Israel.
Situasi di Palestina dengan menangnya Hamas dalam pemilihan umum pertama yang di selenggarakan di wilayah Palestina. Ini membuat UE memberi ultimatum penghentian bantuan ekonominya terhadap Palestina karena Hamas dianggap sebagai grup terroris internasional.
Situasi di Irak, penculikan bahkan kadang pembunuhan terhadap warga-warga asing oleh grup terroris.
Pembakaran mobil-mobil oleh imigran dari Afrika utara di Paris.
Dan masih banyak lainnya.
Kejadian, peristiwa dan pernyataan-pernyaatan dari negara-negara bermayoritas muslim ini telah membentuk opini, bukan saja bagi para pemerintah Eropa, namun juga pada masyarakatnya - terhadap “image” Islam yang seringkali terlihat keras, kasar dan kejam.
Dan, dan saya tekankan….dari pihak kita sendiri, belum ada unjuk gigi dengan beraktuasi dengan cara sebaliknya.
Saya tidak tahu kenapa, misalnya di Palestina, Libanon, merayakan kemenangan misalnya suatu partai politik, kok malah menembakkan peluru ke udara? Bahkan perayaan pernikahan kerap dibumbui oleh penembakkan peluru ke udara (di mana suatu hari di Irak, karena hal ini, tentara AS mengira bahwa mereka adalah musuh, sehingga bom dijatuhkan di rumah orang yang sedang merayakan pesta tersebut, Masya Allah).
Saya masih tidak bisa mengkaitkan “perdamaian dan kegembiraan” dengan “peluru2 dan senapan”.
Oh ya, opini masyarakat Eropa, juga terjadi di Australia (saya lupa di mana saya membaca, seorang wartawati Australia yang memakai jilbab untuk melihat reaksi masyarakat sekitar. Hasilnya ia mendapat rekriminasi, diskriminasi, dan dipandang sebelah mata).
Ada satu hal lagi yang sering saya ingatkan pada kawan-kawan di Indonesia, “memang gampang menjadi muslim di negara yang bermayoritas muslim, kamu tidak peduli image Islam di luar. Mereka sering bersikukuh bahwa apapun yang terjadi, Islam adalah agama yang paling benar dan hal ini hanya mengarah pada intoleransi”.
Saya pikir, sebagai umat yang dewasa, kita juga harus berani melihat borok dan kekurangan diri kita sendiri.
Keempat, tidak ada bayangan dari pers Eropa bahwa gambar kartun tersebut akan menyulut kemarahan umat Islam.
Terlintas di pikiran saya, apakah mereka mengharapkan reaksi kita reaksi umat yang dewasa dan beradab?
Jika kita memang marah, pemerintah suatu negara tetap mempunyai KEWAJIBAN melindungi kedutaan besar (dalam hal ini) Denmark dari kekerasan dan kerusakan yang diperbuat oleh para demonstran.
Bahkan polisi harus bisa mencegah masuknya para demonstran itu ke dalam wilayah kedutaan (yang bukan wilayah Indonesia - i.e.). Sehingga masuk secara paksa ke dalam kedutaan asing berarti memasuki wilayah negara lain tanpa izin dan ini bisa berakibat fatal pada hubungan kedua negara tersebut.
Orang-orang barat biasanya berdemonstrasi secara damai. Dengan pamflet, boleh berteriak-teriak, boleh berdiam diri, maupun berjalan kaki, tidak merusak.
Jadi mungkin inikah yang diharapkan orang-orang yang telah mempublikasikan gambar tsb.? atau memang mereka memang tidak menyangka sebegitu besarnya kemarahan yang meletup di kalangan umat Islam?
Dalam salah satu pamflet di Surabaya, ada yang bertuliskan “vonis hukuman mati bagi yang menghina Muhammad”.
Atau gambar PM Denmark yang lehernya sedang digorok oleh pisau di Jakarta.
Mungkin juga reaksi marah yang kolektif ini telah dipicu oleh seseorang atau suatu kelompok. Dan reaksi marah pada tiap orang pun berbeda-beda. Dan juga, apakah reaksi yang bagi saya “berlebihan” ini merupakan akumulasi dari kemarahan umat terhadap penyerangan terhadap Islam oleh barat?

Apakah yang dimaksud dengan pers Islam?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Litbang Republika dan The Asia Foundation tentang Islam and Civil Society, dengan tema khusus “Pers Islam dan Negara Orde Baru”, mendefinisikan pers Islam sebagai: “Pers yang dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam, baik yang berupa materi (misalnya kepentingan politik) maupun nilai-nilai”.

Kemunculan pers Islam dimulai pada awal abad ke-20, bersamaan dengan lahir dan menyebarnya ide-ide reformasi yang berkembang di Timur Tengah, terutama dari Mesir. Ide-ide tentang reformasi itu setidaknya menyebar melalui dua majalah terkemuka Mesir, Urwatul Wutsqo dan Al Manar. Penyebaran ide ini begitu luas, hingga ke Jawa, dan melahirkan gerakan Jami'at Khair. Para anggota organisasi ini kemudian menyebar dan mendirikan organisasinya sendiri, seperti KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah. Selain Muhammadiyah, berdiri pula beberapa perkumpulan lain seperti Sarekat Dagang Islam, Persatuan Islam, atau Jong Islamienten Bond (Joenaidi, 1997). Organisasi-organisasi ini membangun iklim diskusi bagi pemikiran Islam mutakhir. Dalam skala yang lebih luas, ini memunculkan kebutuhan akan pers Islam.

Pers Islam, sebagai bagian dari pers pribumi yang bertujuan menyebarkan semangat kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan, awalnya tampak sebagai media “partisan”, karena kecenderungan untuk menyebarkan ideologi kelompok penerbitnya. Namun setelah pintu reformasi terbuka pada akhir 1997 dan berkembang era 1998 keberadaan pers Islam semakin luas, baik itu sebagai media dakwah maupun sebagai wadah perlawanan rezim. Dan hal inilah yang menjadi pemicu dari semakin berkembangnya pers Islam di Indonesia.

Media Dakwah

Dakwah, penyebaran informasi, kontrol sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pers, sebagaimana fungsi pers itu sendiri terhadap masyarakatnya.

Pers Islam sebagai media dakwah, tentunya tidak dibatasi pada sisi kepentingan semata. Mengingat banyaknya lapisan kultur, budaya dan agama di Indonesia, maka Pers Islam cenderung menyesuaikan dengan pasarnya. Dewasa ini belum terlihat Pers Islam yang benar-benar mencerminkan nilai Islam secara penuh, baik dari kemasan maupun isinya.

Terlepas dari kemasan ataupun tampilan, keberadaan pers Islam sebagai media dakwah sedikit banyaknya telah berperan aktif dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Dan pers Islam disini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang semata-mata memang berhaluan kesana, misalnya pesantren, ulama, dsb. Namun, kini banyak orang atau lembaga yang tidak terlalu fokuspun banyak yang menerbitkan yang namanya pers Islam. Tinggal disini kita harus membatasi, mana yang memang membawa kepentingan umat Islam dan mana yang tidak. Dalam arti, menghindari pers Islam yang hanya berorientasi pada kepentingan bisnis dan pasar semata.

Dakwah dapat didefinisikan sebagai penyebarluasan ajaran atau paham, dan media merupakan alat penyebaran itu. Jadi media dakwah adalah alat penyebaran ajaran atau paham. Maka, pengemasannya pun harus benar-benar bisa diterima pembaca yang notabene memiliki banyak pilihan untuk memilih media mana yang selayaknya dikonsumsi. Dalam artian, pers Islam sebagai media dakwah harus bisa sedemikian mungkin untuk menarik simpati pasarnya, dengan tentunya tidak melepaskan visi dan misinya sebagai media dakwah.

Perkembangan media dewasa ini, memungkinkan terjadinya persaingan ataupun perang media. Dan disini, peran pers Islam harus mampu menandingi dan menetralisir segala kekeliruan yang dilakukan media lainnya. Sebagai media dakwah, sudah semestinya pers Islam bersifat provokatif dan melakukan agitasi-agitasi yang dapat mempengaruhi pembacanya dan ini dapat dilakukan dalam berbagai cara serta pendekatan. Seperti yang dilakukan oleh Annida yang mencoba mendekati pembacanya melalui jalur sastra. Dalam perkembangannya, Annida telah memiliki pangsa pasar tersendiri, sehingga ketika sudah mempunyai alur yang jelas, dakwah agama pun akan dengan mudahnya dilancarkan. Lain halnya dengan Republika, yang berada pada jalur umum, disini republika dituntut untuk berhati-hati dalam memainkan perannya sebagai media dakwah, atau kalau tidak maka Republika akan kehilangan pasar atau umat pembacanya yang notabene berlatar umum.