Sabtu, 30 Mei 2009

MENGGENGGAM WAKTU MERAIH PRESTASI

oleh: Rahmat Hidayat*
Apakah yang menjadi resep teramat jitu, yang dimiliki para sahabat Nabi SAW
yang menjadi balatentara Islam ketika itu, sehingga mereka mampu menaklukkan
dua imperium adidaya, Romawi dan Persia, yang balatentaranya amat kuat dan
perkasa? Resepnya ternyata tersimpul dari pengakuan penuh kekaguman dari
seorang anggota dinas intelejen Romawi setelah melakukan kegiatan mata-mata
di Madinah. Kepada Kaisar Romawi ia mengutarakan kesannya tentang watak kaum
muslimin, "Ruhbaanun bil-laili, firsaanun binnahaar!" Ya, mereka, kaum
muslimin itu, kalau malam tak ubahnya seperti rahib, sedangkan kalau siang
sungguh bagaikan singa!

Umat Islam ketika itu mampu memadukan dua kekuatan ikhtiar yang
sungguh luar biasa, sehingga menghasilkan sesuatu yang, subhanallah, sangat
luar biasa pula. Tubuh dan pikiran seratus persen digunakan untuk
berikhtiar, bersimbah peluh berkuah keringat. Dikerahkan segenap potensi
yang telah dititipkan ALLOH Azza wa Jalla, demi teraihnya suatu prestasi
tertinggi, suatu karya terbaik. Dengan demikian, jadilah ia muslim yang
unggul, prestatif, dan patut dibanggakan.

Selain itu, hati pun seratus persen digunakan berikhtiar dengan
sekuat tenaga untuk ber-taqarrub
dan mengejar pertolongan ALLOH, sehingga menjadi hamba yang ridha dan
diridhai-Nya. Jadilah ia ahli ibadah yang unggul dan prestatif, kekasih
ALLOH Azza wa Jalla, yang akan dikuatkan-Nya manakala ia lemah, yang akan
dicukupkan-Nya ketika ia dalam kekurangan, yang akan dilapangkan-Nya bila ia
dalam kesempitan, yang akan ditenteramkan-Nya tatkala ia dilanda gelisah,
serta akan ditolong dan dibela-Nya sekiranya ia dianiaya dan disakiti.

Bagi hamba ALLOH yang unggul dalam ibadah kepada-Nya, maka baginya
ALLOH itu dekat, "...fa innii qariib. Ujiibu da'wataddaa'i idzaa da'aan"
[Q.S. AI-Baqarah (2): 186]. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan orang yang
berdo'a apabila ia mendo'a kepada-Ku! Bahkan, baginya ALLOH itu teramat
dekat. "...dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." [Q.S. Qaf
(50): 16]

Gambaran seorang muslim yang unggul dan prestatif memang ibarat
rahib dalam kualitas ibadahnya dan laksana singa dalam kualitas semangat
jihadnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk menjadi
seorang pribadi yang unggul? Salah satu kuncinya yang utama adalah kemampuan
menggenggam waktu. Secara syariat, siang dan malam itu terdiri atas 24 jam.
Seberapa besar seorang muslim mampu menggunakan waktu yang telah
disediakanALLOH tersebut? Dengan kata lain, seberapa mampu seorang muslim
mampu melakukan percepatan diri?

Kita ibaratkan dalam sebuah lomba balap sepeda. Ketika pistol
diletuskan, tampaknya orang yang menjadi juara dalam balap sepeda tersebut
adalah orang yang dalam detik yang sama bisa mengayuh sepedanya lebih kuat
dan lebih cepat daripada yang dilakukan oleh orang lain, sehingga dia akan
melesat mendahului pembalap yang lain karena energi yang dipergunakan dan
ketepatan gerakannya lebih baik daripada detik yang sama yang dilakukan
orang lain.

Artinya, keunggulan itu sangat dekat dengan orang yang paling
efektif dalam memanfaatkan waktunya. Islam adalah agama yang paling dominan
mengingatkan kita kepada waktu. ALLOH sendiri berkali-kali bersumpah dalam
AI-Quran berkaitan dengan waktu. "Wal 'ashri (Demi waktu)," "Wadh dhuha
(Demi waktu dhuha)." "Wal lail (Demi waktu malam)." "Wan nahar (Demi waktu
siang)."

ALLOH pun telah mendisiplinkan kita agar ingat terhadap waktu
minimal lima kali dalam sehari semalam: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib,
'Isya. Belum lagi tahajjud pada sepertiga akhir malam dan shalat Dhuha
ketika matahari terbit sepenggalah. ALLOH mengingatkan kita untuk selalu
terkontrol dengan waktu yang ada.

Oleh sebab itu, tampaknya tidaklah perlu bercita-cita yang hebat
bagi orang-orang yang menganggap remeh waktu karena kunci keunggulan
seseorang justeru terletak pada bagaimana dia mampu memanfaatkan waktu
secara lebih baik daripada yang dimanfaatkan oleh orang lain.

Dua puluh empat jam adalah waktu sehari semalam yang sama
diberikan kepada setiap orang. Ada yang bisa mengurus dunia. Ada yang mampu
mengurus perusahaan raksasa. Ada yang bisa mengurus berjuta-juta manusia.
Akan tetapi, ada juga orang yang selama dua puluh empat jam tersebut
mengurus diri sendiri saja tidak sanggup. Padahal, jatah waktu yang
dimilikinya sarna.

Jangan salahkan siapa pun kalau kita tidak merasakan gemilangnya
hidup ini. Hal pertama yang harus kita curigai adalah bagaimana komitmen
kita terhadap waktu yang kita jalani ini. Hendaknya selalu melakukan
evaluasi diri. Kalau kita termasuk orang yang sangat menganggap remeh atas
berlalunya waktu, tidak merasa kecewa manakala pertambahan waktu tidak
menjadi saat bagi peningkatan kemampuan diri, maka berarti kita memang akan
sulit menjadi unggul dalam hidup ini.

Kita berpacu dengan waktu. Satu desah nafas adalah satu langkah
menuju maut. Rugi besar kalau kita banyak keinginan, banyak angan-angan,
banyak harapan, tetapi tidak meningkatkan kemampuan. Padahal setiap detik,
menit, dan jam adalah peluang bagi peningkatan kemampuan: kemampuan
keilmuan, kemampuan diri, kemampuan kelapangan dada kemampuan ibadah.
Barangsiapa yang dalam setiap waktu yang dilaluinya selalu tamak dengan
upaya meningkatkan kemampuan diri, maka tidak usah heran kalau ALLOH akan
memberikan yang terbaik bagi diri kita. Insya ALLOH! ALLOH-lah Pemilik
segala-galanya.

Akan tetapi, kalau di dalam diri ini tidak ada peningkatan apa
pun; ibadah tidak semakin khusyuk dan ikhlas, hati tidak semakin bersih,
ilmu tidak semakin tinggi, kekuatan pun tidak bertambah, maka yang tinggal
hanyalah angan-angan belaka. Tidak lebih dari itu. Karena, sebetulnya yang
terlebih penting bukanlah hanya keinginan, melainkan kemampuan -- dan itulah
yang menjadi jawaban terbaik dalam mengarungi kehidupan ini.

Waspadalah terhadap waktu. Setiap waktu yang kita lalui harus kita
perhitungkan dengan secermat-cermatnya. Harus membuahkan peningkatan. Kita
harus berbuat lebih baik daripada yang dilakukan oleh orang lain. Hendaknya
kita tidak sekadar bekerja keras saja, tetapi yang jauh lebih baik adalah
bahwa kita harus bekerja keras dan efektif!

Banyak orang yang sibuk bekerja tetapi juga sibuk tertinggal,
sibuk lupa, serta sibuk mencari sesuatu yang seharusnya tidak dia cari
karena semuanya harus sudah siap. Pendek kata, banyak orang yang tampak
sibuk, tetapi ternyata tidak efektif. Bukanlah hal seperti ini yang
diharapkan.

Ada orang yang duduk di depan meja dengan maksud untuk belajar.
Belum beberapa detik saja dia duduk, sudah disibukkan dengan mencari
ballpoint, sibuk mencari buku yang lupa meletakkannya, sibuk menjerang air
untuk ngopi, sibuk melihat foto si dia yang dipajang di sudut meja. Memang
dia duduk selama dua jam menghadapi meja, tetapi tidak menghasilkan apa pun.
Mengapa demikian? Karena, dia tidak efektif.

Untuk menjadi seorang yang efektif dalam mengatur waktu, kita
harus adil dalam membaginya. Ada hak belajar, hak membantu orang tua, hak
ibadah, hak peningkatan kemampuan diri, hak evaluasi, hak istirahat, hak
rekreasi; semua mesti dibagi dengan adil. Sibuk dan hebatnya belajar,
misalnya, tetapi tanpa dibarengi dengan istirahat bahkan tanpa diiringi
dengan mantapnya ibadah kepada ALLOH, itu hanya menunggu waktu yang suatu
saat akan menjadi bumerang.

"Fa idzaa faraghta fanshab. Wa ilaa rabbika farghab." [Q.S. Alam
Nasyrah (94):7-8]. Kunci efektivitas adalah manakala selesai menuntaskan
suatu urusan, segera bersiaplah untuk mengerjakan urusan lain. Lebih dari
semua itu adalah bagaimana menjadikan segalanya sebagai ladang amal dalam
rangka ibadah kepada ALLOH Azza wa Jalla. Karena, bagaimanapun pada akhirnya
"kepada Tuhanmulah kamu akan kembali" Allaahu Akbar!
*Rahmat HidayatKPI adalah Mahasiswa IAIN
Imam bonjol padang fakultas dakwah jurusan
Komunikasi penyiaran islam

Salahkah bercita-cita jadi orang kaya

oleh: Rahmat hidayat*
jutawan atau milyarder? Semua orang pasti ingin jadi orang kaya. Laki-laki ingin kaya, perempuan ingin kaya, orang kampung ingin kaya, dan orang kota pun pasti ingin kaya. Seseorang dengan uang melimpah bisa membeli semua komoditas yang dibutuhkan. Mau baju bagus, ia bisa membelinya di toko ternama di kotanya. Ingin rumah mewah, ia bisa membeli rumah di kawasan elite yang cenderung dihuni oleh orang-orang dari lapisan atas. Bagaimana dengan nasib orang miskin? Jangankan untuk beli baju bagus atau rumah mewah, untuk nasi bungkus saja mereka harus kerja seharian, baru mereka bisa makan.
Tidaklah salah jika seseorang bercita-cita menjadi orang kaya. Yang salah adalah jika ada yang menyatakan bahwa kekayaan adalah suatu kemuliaan, dan kemiskinan adalah suatu kehinaan. Tapi sebenarnya, kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya. Ironisnya, jika Allah mengujinya dengan memberikan kesenangan-kesenangan, maka ia akan berkata bahwa Allah telah memuliakannya, sedangkan jika Allah mengujinya dengan membatasi rizkinya maka ia berkata, "Allah telah menghinakanku!" Tipe orang semacam itu adalah orang yang mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
Sebagian orang menganggap bahwa menjadi orang kaya adalah mudah, sebab yang sulit adalah menjadi orang kaya yang shalih. Kalau hanya sekadar kaya, orang bisa mengumpulkan harta kekayaan dan menggunakannya dengan cara apa pun. Tapi, bagaimana caranya agar harta yang kita miliki ini bernilai "halalan thayyiban" dan "barakah?
Ada satu syarat penting di samping syarat-syarat lainnya agar menjadi orang kaya shalih, yaitu ia harus sabar. Ternyata menjadi orang kaya itu harus memiliki kesabaran juga. Kalau kita telaah, sepertinya sabar ketika kita sedang pailit akan lebih memungkinkan daripada sabar ketika kita bergelimang harta. Sebab, ketika kita memiliki harta melimpah, maka akan semakin banyak godaan yang dapat meruntuhkan benteng kesabaran kita.
Maksud sabar di sini adalah sabar dalam mengharap keridhaan Allah. Identik dengan QS 18: 28, "Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyerukan Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya: dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini: dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas".
Godaan pertama bagi orang kaya biasanya adalah adanya keinginan untuk memperlihatkan kekayaannya, atau lebih dikenal dengan sebutan pamer. Berbagai cara digunakan agar orang lain tahu bahwa ia memiliki segalanya. Aktivitas pamer dimulai dari menampakkan aksesori yang bisa dipakai di badan. Kalau memungkinkan, ia akan menggunakan semua perhiasan untuk melengkapi penampilannya agar terlihat kaya, tak peduli situasi dan kondisi yang ada tidak mendukung. Yang penting orang tahu bahwa ia adalah seorang yang kaya raya. Jauh sekali dengan sifat Nabi Sulaiman. Beliau orang kaya raya, namun kemuliaannya sungguh luar biasa, akhlaknya lebih tinggi daripada kekayaannya.
Kekayaan yang melimpah ruah dapat menyebabkan seseorang itu mulia. Sebab, ia menggunakan hartanya di jalan Allah dan membelanjakannya untuk mencari keridhaan Allah. Dan perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya untuk mencari keridhaan Allah seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun memadai (QS 2: 265).
Dan sebaliknya, kekayaan juga dapat menyebabkan seseorang menjadi boros, sombong serta merasa ekslusif, dan serakah. Seorang yang boros membelanjakan hartanya hanya untuk kepuasan nafsunya. Apa pun itu, jika menyangkut kepuasan hatinya, ia akan kuras seluruh isi kantongnya. Tapi sayangnya, jika hal itu menyangkut kebaikan orang banyak dan bernilai amal, maka ia akan berpura-pura menjadi orang yang pailit. Intinya, selain menjadi boros, ia juga akan diserang penyakit pelit.
Tidak hanya itu, dengan kekayaan yang dimiliki, seseorang bisa menjadi sombong dan merasa ekslusif. Orang-orang dari lapisan bawah tidak dapat diterima dalam lingkup pergaulannya. Ia merasa bahwa mereka bukanlah orang yang dapat diajak bicara, sebab level mereka berada jauh di bawahnya. Dan ia merasa bahwa dialah orang besar yang memenuhi semua kebutuhannya tanpa bantuan siapa pun.
Dengan adanya perasaan seperti itu, sudah pasti ia akan menjadi serakah. Ia tidak akan merasa puas dengan apa yang sudah ia dapatkan. Sesudah menjadi orang kaya, ia ingin menjadi lebih kaya lagi, dan kalau bisa, tidak ada seorang pun yang dapat melebihi kekayaannya, begitulah seterusnya.
Itulah sifat-sifat orang kaya yang tidak sabar, orang kaya yang tidak mengharapkan keridhaan Allah dari kekayaan yang didapatkannya, dan itulah tipe orang kaya yang tidak shalih. Dengan begitu, bukan berarti Islam mengajarkan pada kita bahwa menjadi orang miskin itu lebih baik daripada menjadi orang kaya yang tidak shalih. Tapi sebenarnya Islam mengajarkan pada kita untuk menjadi orang kaya yang shalih, dan menjadi miskin bukanlah suatu hal yang hina, apalagi kalau ternyata kemiskinan itu dapat menjadikannya seorang yang mulia. Yang lebih buruk adalah, miskin dan tidak shalih. Artinya, dunia dan akhirat tidak didapat. "Sudah jatuh tertimpa tangga pula", ungkapan itulah yang tepat bagi orang yang tidak mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.
Sekali lagi, Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang kaya. Nabi Muhammad adalah seorang kaya raya, demikian juga para sahabat, selain kaya mereka juga berprestasi, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Walaupun mereka kaya, tapi hidup mereka sederhana, intinya menjalankan kehidupan yang proporsional. Bukan saja kebahagiaan dunia yang didapat, namun akhirat pun tetap menjadi tujuan hidupnya.
Semua kekayaan yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Dan kita sebagai hamba-Nya harus dapat memanfaatkannya. Pertama, kita mendapatkannya dengan cara yang halal. Kemudian, membelanjakannya dengan cara yang halal juga. Dan yang ketiga, adanya harapan dari kita, bahwa semua yang telah kita lakukan mendapat ridha Allah SWT.
Kekayaan yang bermanfaat di dunia dan akhirat adalah kekayaan yang barakah yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Pertama, kekayaan tersebut dapat menyebabkan pemiliknya qada'ah (puas dan merasa cukup). Pemiliknya tidak merasa tersiksa dan tidak merasa kekurangan. Ia akan menggunakannya untu beramal.
Kedua, kekayaan yang membuat batin pemiliknya tenang. Harta melimpah tidak membuatnya bingung untuk mengelolanya dan tidak pula menyebabkan rasa was-was untuk kehilangan, sebab ia yakin bahwa semua yang dimilikinya adalah amanah dari Allah SWT. Dan kapan pun bisa Allah ambil kembali.
Ketiga, pemiliknya menjadi lebih mulia daripada kekayaan yang dimiliki. Seperti halnya Nabi Sulaiman, beliau nabi paling kaya, namun kekayaannya digunakan untuk ibadah dan maslahat umat. Beliau menganggap, harta bukanlah segalanya di dunia ini, namun hartanya dapat digunakan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Caranya, harta tersebut dibelanjakan di jalan Allah melalui zakat, infak, dan sidekah. Sebaliknya, jika kekayaannya tidak barakah, maka pemiliknya tidak akan merasa puas, tenteram, dan yang lebih parah lagi, ia tergolong manusia yang sangat hina. Maka dari itu, semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Wallahua'lam
*Rahmat HidayatKPI adalah Mahasiswa IAIN
Imam bonjol padang fakultas dakwah jurusan
Komunikasi penyiaran islam.